Thursday, March 20, 2008

Keagungan Nabi Muhammad s.a.w.

KEAGUNGAN NABI MUHAMMAD S.A.W.

Dihimpun oleh
IRFAN ANSHORY



DALAM SUASANA Maulid Nabi tanggal 12 Rabi`ul-Awwal 1429 H yang jatuh pada 20 Maret 2008, ada baiknya kita renungkan pendapat beberapa ilmuwan non-Muslim (agar relatif objektif) tentang keagungan manusia paling mulia di muka bumi, yaitu Junjungan dan Pemimpin Besar kita Nabi Muhammad Rasulullah s.a.w., serta bangkitnya agama Islam yang telah mengubah sejarah umat manusia.


JULES MASSERMAN, psikoanalis terkemuka dari Amerika Serikat:

“Leaders must fulfill three functions--provide for the well-being of the led, provide a social organization in which people feel relatively secure, and provide them with one set of beliefs. People like Pasteur and Salk are leaders in the first sense. People like Gandhi and Confucius, on one hand, and Alexander, Caesar and Hitler on the other, are leaders in the second and perhaps the third sense. Jesus and Buddha belong in the third category alone. Perhaps the greatest leader of all times was Mohammed, who combined all three functions. To a lesser degree, Moses did the same.”

“Who Were History’s Great Leaders?”, TIME Magazine, July 15, 1974, p.27.


LAMARTINE, politikus ternama dari Perancis:

“Philosopher, orator, apostle, legislator, warrior, conqueror of ideas, restorer of rational dogmas, of a cult without images; the founder of twenty terrestrial empires and of one spiritual empire, that is Muhammad. As regards all standards by which human greatness may be measured, we may well ask, is there any man greater than he?

Histoire de la Turquie, Vol.II, Paris, 1854, p.277.


THOMAS CARLYLE, sastrawan terkenal dari Inggris:

“A poor shepherd people, roaming unnoticed in its deserts since the creation of the world; a Hero-Prophet was sent down to them with a word they could believe. See, the unnoticed becomes world-notable, the small has grown world-great. Within one century afterwards, Arabia is at Grenada on this hand, at Delhi on that—glancing in valour and splendour and the light of genius, Arabia shines through long ages over a great section of the world. Belief is great, live-giving. The history of a Nation becomes fruitful, soul-elevating, great, so soon as it believes. These Arabs, the man Mahomet, and that one century—is it not as if a spark had fallen, one spark, on a world of what seemed black unnoticeable sand; but lo, the sand proves explosive powder, blazes heaven-high from Delhi to Grenada! I said, the Great Man was always as lightning out of Heaven; the rest of men waited for him like fuel, and then they too would flame.

On Heroes, Hero-Worship and the Heroic in History, London, 1887, pp.70-71.


LOTHROP STODDARD, sejarawan termasyhur dari Amerika Serikat:

“The rise of Islam is perhaps the most amazing event in human history. Springing from a land and a people like previously negligible, Islam spread within a century over half the earth, shattering great empires, overthrowing long-established religions, remoulding the souls of races, and building up a whole new world--world of Islam.

The closer we examine this development the more extraordinary does it appear. The other great religions won their way slowly, by painful struggle, and finally triumphed with the aid of powerful monarchs converted to the new faith. Christianity had its Constantine, Buddhism its Asoka, and Zoroastrianism its Cyrus, each lending to his chosen cult the mighty force of secular authority.

Not so Islam. Arising in a desert land sparsely inhabited by a nomad race previously undistinguished in human annals, Islam rallied forth on its great adventure with the slenderest human backing and against the heaviest material odds. Yet Islam triumphed with seemingly miraculous case, and a couple of generations saw the Fiery Crescent borne victorious from the Pyrenees to the Himalayas and from the deserts of Central Asia to the deserts of Central Africa.”

The New World of Islam, New York, 1925, p.5.


Buku Lothrop Stoddard ini, atas prakarsa Presiden Sukarno tahun 1965, telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dengan judul Dunia Baru Islam. Terjemahan dari kata-kata Stoddard di atas terdapat pada hal. 11, lebih menggebu-gebu dari naskah aslinya:

“Bangkitnya Islam, barangkali, satu peristiwa paling menakjubkan dalam sejarah manusia. Dalam tempoh seabad saja, dari gurun tandus dan suku bangsa terbelakang, Islam telah menyebar hampir menggenangi separoh dunia. Menghancurkan kerajaan-kerajaan besar, memusnahkan beberapa agama besar, yang telah dianut berbilang zaman dan abad. Mengadakan revolusi berpikir dalam jiwa bangsa-bangsa. Dan sekaligus membina satu dunia baru--Dunia Islam!

Kian dalam penyelidikan kita terhadap kemajuan Islam, kian bertambah takjub hati. Agama besar lain, tumbuh dan berkembang amat lambat, menghadapi berbagai ragam rintangan. Akhirnya beroleh kemenangan, lantaran bantuan raja-raja yang berkuasa yang memeluk agama itu. Agama Nasrani punya Konstantin, agama Budha punya Asoka dan agama Zoroaster punya raja Cyrus. Mereka raja-raja perkasa. Mereka tokoh-tokoh pembela dan penggalang agama yang dipeluknya, dengan segala kekuasaan dan kekuatan.

Tidak demikian Islam! Ia lahir di gurun tandus. Penduduknya sedikit, pengembara pula. Dan sebelum Islam datang, mereka tak punya kedudukan dan tempat dalam sejarah. Tetapi kemudian dengan cepat sekali, Islam berkembang ke segala penjuru dunia, tanpa bantuan kekuasaan dan kekuatan banyak umat. Dalam kesulitan mahadahsyat, Islam mendapat kemenangan nyata dan menakjubkan! Tak sampai dua abad dari detik kelahirannya, benderanya telah berkibar antara pegunungan Pyrenia dan Himalaya, antara padang pasir di tengah Asia sampai ke padang pasir di dua benua Afrika.” (disesuaikan dengan Ejaan Yang Disempurnakan, EYD 1972)***

Tuesday, March 11, 2008

Islam dan Ilmu Pengetahuan

ISLAM DAN ILMU PENGETAHUAN

oleh
DRS. H. IRFAN ANSHORY



ILMU PENGETAHUAN merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dari ajaran agama Islam, sebab kata islam itu sendiri, dari kata dasar aslama yang artinya “tunduk patuh”, mempunyai makna “tunduk patuh kepada kehendak atau ketentuan Allah”. Dalam Surat Ali Imran ayat 83, Allah menegaskan bahwa seluruh isi jagat raya, baik di langit maupun di bumi, selalu berada dalam keadaan islam, artinya tunduk patuh kepada aturan-aturan Ilahi. Allah memerintahkan manusia untuk meneliti alam semesta yang berisikan ayat-ayat Allah. Sudah tentu manusia takkan mampu menunaikan perintah Allah itu jika tidak memiliki ilmu pengetahuan. Itulah sebabnya, kata alam dan ilmu mempunyai akar huruf yang sama: ain-lam-mim.

Bagian yang terbanyak daripada ayat-ayat Al-Qur’an adalah perintah Allah kepada manusia agar menalari alam sekelilingnya. Dan setelah maju ilmu pengetahuan modern, bertambah jelas pula arti yang dikandung dalam ayat-ayat itu. Semuanya ini menjadi bukti bahwa Al-Qur’an bukanlah karangan Nabi Muhammad s.a.w., melainkan langsung turun dari Allah SWT.

Sebagai contoh, dalam Surat Al-Anbiya’ ayat 30 Allah SWT berfirman: “Tidakkah orang-orang kafir itu tahu bahwa langit dan bumi mulanya berpadu, lalu Kami pisahkan keduanya. Dan Kami jadikan dari air segala sesuatu yang hidup. Tidakkah mereka percaya?”. Ayat yang diwahyukan Allah pada abad ke-7 ini baru jelas maknanya setelah ilmu kosmologi dan ilmu biologi berkembang pada abad ke-20.

Baru pada tahun 1929 dunia astronomi menyadari bahwa galaksi-galaksi saling menjauhi satu sama lain, dan ini berarti bahwa alam semesta berada dalam keadaan berekspansi atau mengembang. Baru pada tahun 1965 ditemukan bukti-bukti ilmiah bahwa pada mulanya seluruh isi alam semesta ini berpadu dalam tingkat kepadatan yang tidak terhingga (infinite density), lalu dengan proses Dentuman Akbar (Big Bang) pada sekitar 14 miliar tahun yang silam maka terciptalah alam semesta ini.

Demikian pula dunia biologi baru pada abad ke-20 mengetahui bahwa 80% penyusun sel-sel makhluk hidup (manusia, hewan, tumbuhan, mikroorganisme) adalah air. Seluruh metabolisme dalam tubuh makhluk hidup hanya dapat berlangsung dalam lingkungan pelarut air. Kehidupan di muka bumi baru terbentuk setelah adanya air. Banyak makhluk hidup yang tidak memerlukan udara atau oksigen, tetapi tidak ada yang mampu survive tanpa air.

Masih banyak ayat Al-Qur’an tentang fenomena alam yang harus digali dan dikembangkan oleh para ilmuwan dan intelektual Muslim. Kita sering lupa bahwa di samping ayat-ayat Qur’ani (yang tertulis dalam Al-Qur’an), terdapat lebih banyak lagi ayat-ayat Kauni, yaitu hukum-hukum Allah yang terdapat dalam makhluk ciptaan-Nya. Dalam Surat Fushshilat ayat 53, Allah SWT berfirman: “Akan Kami perlihatkan pada manusia ayat-ayat Kami di segenap penjuru dan dalam kehidupan mereka sendiri, sehingga jelas bagi mereka bahwa Al-Qur’an itu benar”.


Usaha-usaha manusia untuk menggali dan meneliti ayat-ayat Allah di segenap penjuru alam semesta melahirkan ilmu-ilmu pengetahuan alam (natural sciences), sedangkan usaha-usaha manusia untuk menggali dan meneliti ayat-ayat Allah dalam kehidupan manusia melahirkan ilmu-ilmu pengetahuan sosial dan budaya (social and cultural sciences).

Pengembangan ilmu pengetahuan dapat dilakukan oleh siapa saja, baik orang yang beriman maupun yang tidak beriman, asalkan memiliki sikap intelektual dan kemampuan metodologi ilmiah, sebab ayat-ayat Allah bersifat:
1. pasti (Al-Furqan 2)
2. tidak pernah berubah (Al-Fath 23)
3. obyektif (Al-Anbiya’ 105)

Salah satu perintah Allah yang belum maksimal kita laksanakan adalah penguasaan ayat-ayat Allah yang bertebaran di alam semesta melalui ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) dengan didasari iman dan taqwa (IMTAQ). Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa kemajuan Barat dalam ilmu pengetahuan adalah karena mewarisi dan meneruskan ilmu pengetahuan umat Islam di abad-abad pertengahan. Patut dicatat bahwa supremasi kaum Muslimin selama delapan abad jauh lebih lama daripada supremasi Barat sekarang (sejak abad ke-18). Dan umat Islam di mana saja diliputi oleh optimisme bahwa supremasi itu akan kembali ke tangan mereka, asalkan mereka konsisten kepada ajaran Al-Qur’an.

Marilah kita perhatikan intisari ajaran Al-Qur’an tentang sains dan teknologi.
Pertama, Allah menciptakan alam semesta dengan haqq (benar) kemudian mengaturnya dengan hukum-hukum yang pasti (Al-A`raf 54, An-Nahl 3, Shad 27).
Kedua, manusia diperintahkan Allah untuk meneliti dan memahami hukum-hukum Allah di alam semesta (Ali Imran 190-191, Yunus 101, Al-Jatsiyah 13).
Ketiga, dalam memanfaatkan hukum-hukum Allah di alam semesta yang melahirkan ilmu pengetahuan dan teknologi, manusia harus berwawasan lingkungan dan dilarang untuk merusak atau membuat pencemaran (Al-Qasas 77, Ar-Rum 41).

Dalam pengembangan ilmu pengetahuan, kita harus memiliki sikap-sikap intelektual yang diperintahkan Allah dalam Al-Qur’an.
Pertama, kritis terhadap permasalahan yang dihadapi, sebagaimana tercantum dalam Surat Al-Isra’ ayat 36: “Dan janganlah engkau ikuti sesuatu yang tiada padamu pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan isi hati, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya”.
Kedua, bersedia menerima kebenaran dari mana pun datangnya, sebagaimana tercantum dalam Surat Az-Zumar ayat 18: “Maka gembirakanlah hamba-hamba-Ku yang menginventarisasi pendapat-pendapat, lalu mengikuti yang terbaik. Mereka itulah yang memperoleh petunjuk Allah dan mereka itulah kaum intelektual”.
Ketiga, menggunakan daya nazhar (nalar) semaksimal mungkin, sebagaimana tercantum dalam Surat Yunus ayat 101: “Katakan: nalarilah apa yang ada di langit dan di bumi. Dan tidaklah berguna segala ayat dan peringatan itu bagi kaum yang tidak percaya”.

Menurut Surat Ali Imran 191-194, seorang ilmuwan atau intelektual Muslim harus mempunyai sifat-sifat sebagai berikut:
1. Senantiasa dalam kondisi zikir, memelihara komitmen kepada ajaran Allah.
2. Mengembangkan daya fikir dalam menalari ciptaan Allah.
3. Memanfaatkan potensi dan kesempatan yang disediakan Allah.
4. Menjauhi perilaku menyimpang dari ajaran Allah.
5. Siap membela kebenaran dan keadilan serta memberantas kezaliman.
6. Teguh beriman kepada Allah dan Rasul dalam sikap dan perilaku.
7. Menyadari kekhilafan dan berusaha meningkatkan kemampuan diri.
8. Ikhlas berkorban mempersembahkan bakti hanya kepada Allah.
9. Berwawasan masa depan untuk kebahagiaan di dunia dan di akhirat.

Pemahaman terhadap hukum-hukum Allah di alam semesta akan semakin menyadarkan kita bahwa dunia yang fana ini mempunyai awal dan akhir, serta sesudah kehidupan dunia ini akan datang kehidupan akhirat yang abadi. Hal ini ditegaskan Allah dalam Surat Ar-Ra`d ayat 2: “Allah telah meninggikan langit dengan tanpa tiang yang kamu lihat, kemudian Dia berkuasa di atas `Arasy. Dia menyediakan matahari dan bulan, yang beredar sampai waktu yang ditentukan. Dia mengatur urusan alam semesta. Dia menjelaskan ayat-ayat-Nya agar kamu meyakini pertemuan dengan Tuhanmu”.***

Penulis alumnus Institut Teknologi Bandung dan pembina Masjid Salman.