Friday, July 11, 2008

Pararaton Revisited

PARARATON REVISITED
Suatu Penafsiran Baru Mengenai
Keluarga Raja-Raja Majapahit

o l e h
NIA KURNIA SHOLIHAT IRFAN



SEJAK akhir abad ke-19, setelah penemuan naskah Pararaton yang menguraikan keluarga raja-raja Majapahit, para ahli sejarah mulai menyusun sejarah kerajaan Hindu terbesar di Jawa itu secara ilmiah, sebab data Pararaton ternyata banyak yang sesuai dengan prasasti-prasasti dari zaman Majapahit. Sayangnya, uraian Pararaton mengenai keluarga raja-raja Majapahit sering terlampau singkat, kurang lengkap, dan kadang-kadang membingungkan, sehingga para ilmuwan harus jeli dalam membaca dan menafsirkannya. Itulah sebabnya sampai awal abad ke-21 sekarang rekonstruksi sejarah Majapahit belumlah tuntas. Tulisan ini khusus membahas hubungan kekeluargaan dinasti Majapahit dan diharapkan dapat menjembatani perbedaan penafsiran naskah Pararaton di kalangan para ahli sejarah.

Terlebih dahulu kita catat daftar raja-raja Majapahit. Raja pertama, Kertarajasa Jayawardhana Dyah Sanggramawijaya yang dikenal dengan Raden Wijaya (1294–1309), digantikan putranya, Jayanagara Raden Kalagemet (1309-1328). Jayanagara digantikan adik wanitanya, Tribhuwana Wijayottunggadewi Dyah Gitarja (1328–1350). Lalu tahta kerajaan diwarisi putra Tribhuwana, Rajasanagara Dyah Hayam Wuruk (1350–1389). Hayam Wuruk digantikan keponakan dan menantunya, Wikramawardhana Hyang Wisesa (1389–1429). Setelah itu naik tahta putri Wikramawardhana, Prabhu Stri Dyah Suhita (1429–1447). Selanjutnya Suhita digantikan adiknya, Wijayaparakramawardhana Dyah Kertawijaya (1447–1451). Kemudian tahta Majapahit secara berturut-turut diwarisi oleh tiga orang putra Kertawijaya: Rajasawardhana Dyah Wijayakumara Sang Sinagara (1451–1453); Girisawardhana Dyah Suryawikrama Hyang Purwawisesa (1456–1466); serta Singawikramawardhana Dyah Suraprabhawa (1466–1478).

Majapahit tiga kali mengalami pertikaian tahta di antara keluarga kerajaan. Pertikaian pertama berlangsung 30 tahun (1376–1406) ketika kadaton wetan memisahkan diri dari pusat pemerintahan. Pertikaian kedua terjadi pada tahun 1453-1456 sehingga Majapahit tidak mempunyai raja selama tiga tahun. Pertikaian terakhir tahun 1468–1478 menyebabkan keruntuhan Majapahit.

Penafsiran data Pararaton harus didasari pemahaman terhadap konsep kosmogoni Siwa-Buddha yang menganggap suatu kerajaan sebagai perwujudan Gunung Mahameru tempat kediaman Bhatara Indra. Itulah sebabnya keluarga Majapahit menamakan diri mereka Girindrawangsa, dan berabad-abad sebelumnya keluarga Sriwijaya juga mengklaim sebagai Sailendrawangsa, yang sama-sama berarti ‘Keluarga Gunung Indra’. Pusat kerajaan Majapahit (di sekitar Mojokerto sekarang) dikelilingi daerah-daerah bawahan (mandala-mandala) yang meliputi delapan penjuru (lokapala), yaitu Kahuripan, Tumapel, Paguhan, Wengker, Daha, Lasem, Pajang, dan Kabalan. Sebagaimana pernah dikemukakan oleh Dr.Boechari, “While the kingdom is compared with Mount Meru and Indra’s heaven, the king is thought to be Indra on earth, and that the eight Lokapala are incorporated in his nature” (MIISI, V/1, 1973). Dua mandala utama, yaitu Kahuripan (Janggala, Jiwana) dan Daha (Kadiri, Panjalu), merupakan poros yang menyangga kestabilan sistem, dan hal ini sudah dibakukan sejak zaman raja Airlangga pada abad ke-11. Itulah sebabnya kombinasi wilwatikta-janggala-kadiri (Majapahit-Kahuripan-Daha) banyak dijumpai dalam prasasti-prasasti.

Sebagai kepala pemerintahan, raja atau ratu Majapahit bergelar Bhatara Prabhu (Bhre Prabhu) atau Sri Maharaja. Para anggota keluarga kerajaan diberi gelar Bhatara (Bhre) dari mandala tertentu, misalnya Bhre Kahuripan, Bhre Daha, Bhre Tumapel, dan sebagainya. (Gelar apanage semacam ini sekarang masih berlaku di Kerajaan Inggris: suami Ratu Elizabeth diberi gelar Duke of Edinburgh, sedangkan putra mereka bergelar Prince of Wales.) Sesuai dengan keseimbangan gender, gelar Bhre Tumapel, Bhre Paguhan dan Bhre Wengker dijabat oleh pria, sedangkan gelar Bhre Lasem, Bhre Pajang dan Bhre Kabalan jatah untuk wanita. Adapun gelar Bhre Kahuripan dan Bhre Daha, sebagai daerah poros (axis region), boleh disandang pria atau wanita asalkan hubungan kerabatnya dekat dengan sang prabhu. Sebagaimana ditegaskan oleh Prof. Bertram Johannes Otto Schrieke, “Kahuripan and Daha were the regions assigned to the most highly placed members of the royal family” (Ruler and Realm in Early Java, 1957). Jika anggota keluarga kerajaan cukup banyak, mandala diperluas menurut kebutuhan, misalnya Bhre Mataram, Bhre Matahun, Bhre Wirabhumi, dan sebagainya.


PERIODE AWAL MAJAPAHIT (1294–1375)

Kertarajasa Jayawardhana Dyah Sanggramawijaya, yang naik tahta pada tahun 1294, beristri empat putri Kertanagara (raja terakhir Singasari), yaitu Tribhuwaneswari, Mahadewi, Jayendradewi, Rajapatni Gayatri. Kertarajasa juga beristri Dara Petak Sri Indreswari, putri dari Malayu. Dari Gayatri, Kertarajasa memperoleh dua putri: Bhre Kahuripan(I) Tribhuwana Wijayottunggadewi Dyah Gitarja dan Rajadewi Maharajasa Dyah Wiyat. Putri-putri Kertanagara yang lain tidak berketurunan. Dari Dara Petak, Kertarajasa berputra Bhre Daha(I) Jayanagara Raden Kalagemet, yang diakui sebagai putra permaisuri Tribhuwaneswari. Setelah Kertarajasa wafat tahun 1309, Jayanagara menjadi raja Majapahit, dan gelar Bhre Daha(II) disandang oleh Rajadewi.

Ketika Jayanagara wafat tanpa keturunan tahun 1328, Tribhuwana menjadi ratu Majapahit. Dia bersuami Bhre Tumapel(I) Kertawardhana Raden Cakradhara, dan memperoleh sepasang putra-putri: Bhre Kahuripan(II) Rajasanagara Dyah Hayam Wuruk dan Bhre Pajang(I) Rajasaduhiteswari Dyah Nartaja. Kertawardhana dari selir juga berputra Raden Sotor. Adapun Bhre Daha(II) Rajadewi bersuami Bhre Wengker(I) Wijayarajasa Raden Kudamerta, dan memperoleh putri Bhre Lasem(I) Rajasaduhita Indudewi. Wijayarajasa dari selir juga berputri Sri Sudewi Padukasori.

Pada tahun 1350 Hayam Wuruk menggantikan sang ibunda di atas tahta Majapahit, dan Tribhuwana kembali bergelar Bhre Kahuripan(I). Hayam Wuruk menikahi Sri Sudewi, dan berputri Bhre Kabalan(I) Kusumawardhani. Dari selir, Hayam Wuruk memperoleh seorang putra yang tidak jelas namanya. Bhre Pajang(I) Dyah Nartaja bersuami Bhre Paguhan(I) Singawardhana Raden Sumana, memperoleh satu putra dan dua putri: Bhre Mataram(I) Wikramawardhana, Bhre Wirabhumi(I) Nagarawardhani, dan Bhre Pawanawan Surawardhani atau Rajasawardhani. Adapun Bhre Lasem(I) Indudewi bersuami Bhre Matahun(I) Rajasawardhana Raden Larang. Oleh karena pasangan ini tidak berketurunan, mereka mengadopsi putra Hayam Wuruk dari selir.

Kemudian terjadilah pernikahan antar sepupu: Kusumawardhani bersuami Wikramawardhana; Nagarawardhani bersuami putra Hayam Wuruk dari selir; dan Surawardhani bersuami Bhre Pandansalas(I) Ranamanggala Raden Sumirat, putra Raden Sotor. Setelah Bhre Daha(II) Rajadewi dan Bhre Kahuripan(I) Tribhuwana wafat antara tahun 1372 dan 1375, terjadilah rotasi gelar: Indudewi menjadi Bhre Daha(III); Nagarawardhani menjadi Bhre Lasem(II), dan suaminya menyandang gelar Bhre Wirabhumi(II). Adapun gelar Bhre Kahuripan(III) paling layak diwarisi putra mahkota Wikramawardhana, meskipun hal ini tidak disebutkan dalam Pararaton.

Wikramawardhana dan Kusumawardhani memperoleh tiga putra dan satu putri: putra sulung Bhre Mataram(II) Rajasakusuma yang mewarisi gelar ayahnya, putra kedua yang tidak jelas namanya, putri Suhita, dan putra bungsu Kertawijaya. Ranamanggala dan Surawardhani memperoleh satu putra dan dua putri: Ratnapangkaja yang menjadi suami Suhita, putri sulung yang menjadi istri putra kedua Wikramawardhana, dan putri bungsu Jayeswari yang menjadi istri Kertawijaya. Bhre Wirabhumi(II) dan Nagarawardhani memperoleh putra Bhre Pakembangan yang wafat dalam ‘perburuan’ (ketika berburu di hutan ataukah ketika menjadi buronan politik?) serta tiga orang putri.


PERIODE KADATON WETAN (1376–1406)

Pertikaian tahta mulai terjadi ketika muncul kerajaan separatis yang dalam Pararaton disebut kadaton wetan (istana timur), untuk membedakannya dari kerajaan Majapahit yang disebut kadaton kulon (istana barat). Hal ini diungkapkan oleh Pararaton dengan kalimat tumuli hana gunung anyar i saka 1298 (“lalu terjadi gunung baru pada 1298 Saka = 1376 Masehi”). Oleh karena ‘gunung’ melambangkan tahta kekuasaan, informasi ini mengisyaratkan munculnya kerajaan baru.

Kerajaan tandingan ini tercatat dalam kronik Cina Ming-shih (Sejarah Dinasti Ming). Kronik Ming-shih menerangkan dua rombongan utusan dari Jawa tahun 1377, yang diterjemahkan Willem Pieter Groeneveldt sebagai berikut: “In this country there is a western and an eastern king. The latter is called Wu-lao-wang-chieh and the former Wu-lao-po-wu. Both of them sent envoys with tribute”. Para ahli sejarah tidak sulit mengenali tokoh kerajaan barat, Wu-lao-po-wu, sebagai ‘Bhatara Prabhu’, yaitu raja Hayam Wuruk. Akan tetapi baru pada tahun 1964 Prof.George Coedes mampu mengidentifikasi tokoh kerajaan timur, Wu-lao-wang-chieh, sebagai ‘Bhatara Wengker’.

Bhre Wengker pada zaman Hayam Wuruk adalah Wijayarajasa, suami Rajadewi bibi Hayam Wuruk. Wijayarajasa juga mertua Hayam Wuruk sebab merupakan ayah dari permaisuri Sri Sudewi. Dari kitab Nagarakretagama yang ditulis pujangga Prapanca tahun 1365 kita memperoleh gambaran bahwa Wijayarajasa memang mempunyai ambisi untuk berkuasa. Setelah Patih Gajah Mada wafat tahun 1364, lalu disusul oleh wafatnya Tribhuwana dan Rajadewi antara 1372 dan 1375, Wijayarajasa mewujudkan ambisinya sebab tokoh-tokoh yang diseganinya tidak ada lagi. Pada tahun 1376 dia memproklamasikan kadaton wetan yang lepas dari Majapahit. Tahun berikutnya Majapahit dan kadaton wetan sama-sama mengirimkan utusan kepada Dinasti Ming di Cina.

Di manakah letak kadaton wetan? Menurut Pararaton dan prasasti Biluluk, Wijayarajasa bergelar Bhatara Parameswara ring Pamotan (Yang Dipertuan di Pamotan). Oleh karena kata muwat bersinonim dengan nanggung, maka Pamotan (Pamuwatan) barangkali adalah Gunung Penanggungan di sebelah timur Mojokerto sekarang. Wijayarajasa agaknya sengaja memilih tempat itu menjadi pusat kerajaan sebagai pembenaran tindakan separatisnya. Daerah Penanggungan atau Pamotan merupakan tempat suci raja Airlangga, sehingga Wijayarajasa kiranya ingin menunjukkan bahwa pembentukan negara baru itu mengikuti tradisi Airlangga yang pernah membagi dua kerajaannya.

Adanya kadaton wetan menyebabkan keluarga Majapahit pecah menjadi dua kelompok. Sebagian besar tetap setia kepada Hayam Wuruk. Akan tetapi mereka yang berkerabat dengan Wijayarajasa terpaksa hijrah memihak kadaton wetan, yaitu Bhre Daha(III) Indudewi dengan suaminya Bhre Matahun(I) Raden Larang, dan anak angkat mereka Bhre Wirabhumi(II) dengan istrinya Bhre Lasem(II) Nagarawardhani, serta tiga orang putri Bhre Wirabhumi(II). Hayam Wuruk segan bertindak tegas menghadapi negara separatis itu sebab Wijayarajasa adalah mertuanya, Indudewi adalah sepupunya, dan Bhre Wirabhumi(II) adalah putranya dari selir. Selagi tokoh-tokoh senior masih hidup, kadaton kulon dan kadaton wetan saling menenggang rasa sehingga konfrontasi terbuka dapat dihindari.

Akan tetapi keadaan seperti itu tidaklah dapat dipertahankan setelah para tokoh senior meninggal dunia. Pada tahun 1386 Kertawardhana (ayah Hayam Wuruk) wafat. Dua tahun berikutnya, 1388, wafat pula secara berturut-turut permaisuri Sri Sudewi, Dyah Nartaja (adik Hayam Wuruk) dan suaminya Raden Sumana. Dua tokoh kadaton wetan, Raden Larang dan Wijayarajasa sendiri, juga wafat. Akhirnya mangkat pula raja Hayam Wuruk tahun 1389.

Wikramawardhana menjadi raja Majapahit dan kemudian dikenal dengan Hyang Wisesa, sedangkan tahta kadaton wetan diwarisi Bhre Wirabhumi(II). Gelar Bhre Kahuripan(IV) disandang Surawardhani, dan putra kedua Wikramawardhana digelari Bhre Tumapel(II). Suhita dan suaminya, Ratnapangkaja, masing-masing kiranya menjadi Bhre Pajang(II) dan Bhre Paguhan(II), meskipun tidak disebutkan dalam Pararaton. Wikramawardhana bertindak konfrontatif terhadap kadaton wetan dengan memberikan gelar Bhre Lasem (padahal sedang disandang adiknya, Nagarawardhani) kepada permaisurinya, Kusumawardhani. Dalam Pararaton, Kusumawardhani disebut Bhre Lasem Yang Cantik (Sang Ahayu) dan Nagarawardhani disebut Bhre Lasem Yang Gemuk (Sang Alemu).

Putra mahkota Rajasakusuma wafat tahun 1399 dan bergelar anumerta Hyang Wekas ing Sukha. Tahun 1400 wafat pula Bhre Lasem(II) Nagarawardhani, Bhre Lasem(III) Kusumawardhani, Bhre Kahuripan(IV) Surawardhani, dan Bhre Pandansalas(I) Ranamanggala. Maka terjadilah regenerasi gelar bagi yang muda. Ratnapangkaja menjadi Bhre Kahuripan(V), dan adiknya, istri Bhre Tumapel(II), menjadi Bhre Lasem(IV). Gelar Bhre Pandansalas(II) disandang oleh Raden Jagulu, adik Ranamanggala. Dua orang putra Bhre Tumapel(II) dengan Bhre Lasem(IV) masing-masing diberi gelar Bhre Wengker(II) dan Bhre Paguhan(III). Satu-satunya tokoh senior yang masih hidup saat itu adalah Bhre Daha(III) Indudewi yang mendampingi anak angkatnya, Bhre Wirabhumi(II), di kadaton wetan.

Konfrontasi antara Wikramawardhana dan Bhre Wirabhumi(II) akhirnya menimbulkan Perang Paregreg tahun 1405–1406. Kadaton wetan mengalami kekalahan dengan gugurnya Bhre Wirabhumi(II), sehingga Majapahit utuh kembali setelah pecah 30 tahun. Untuk menghilangkan benih balas dendam, tiga putri Bhre Wirabhumi(II) masing-masing dinikahi oleh Wikramawardhana, Bhre Tumapel(II) putra Wikramawardhana dan Bhre Wengker(II) cucu Wikramawardhana. Ketiga putri itu berturut-turut diberi gelar Bhre Mataram(III), Bhre Lasem(V), dan Bhre Matahun(II). Sungguh suatu pernikahan yang sangat unik: tiga putri bersaudara bersuamikan orang-orang tiga generasi!


PERIODE PASCA PAREGREG (1406–1453)

Seusai Perang Paregreg, Bhre Daha(III) Indudewi diboyong pulang oleh Wikramawardhana ke Majapahit dan dihormati sebagai sesepuh. Saudara sepupu Hayam Wuruk ini wafat tahun 1415 bersama-sama Bhre Mataram(III) dan Bhre Matahun(II). Gelar Bhre Daha(IV) paling layak diwarisi oleh Suhita, dan adiknya, Kertawijaya, kiranya menjadi Bhre Mataram(IV). Istri Kertawijaya, Jayeswari, pantas menjadi Bhre Kabalan(II).

Bhre Tumapel(II) dan putranya, Bhre Wengker(II), wafat tahun 1427. Dua tahun kemudian, 1429, mangkat pula raja Wikramawardhana, dan Suhita menjadi ratu Majapahit. Kertawijaya menjadi Bhre Tumapel(III), sedangkan gelar Bhre Daha(V) diwarisi Jayeswari. Sekitar tahun 1430 wafat pula Bhre Lasem(IV), Bhre Lasem(V), dan Bhre Pandansalas(II). Oleh karena Suhita tidak berketurunan, maka yang mewarnai sejarah Majapahit selanjutnya adalah keturunan Bhre Tumapel(II) dan Bhre Tumapel(III) Kertawijaya.

Bhre Tumapel(II) dengan istrinya Bhre Lasem(V) mempunyai tiga putri dan satu putra: Bhre Jagaraga Wijayendudewi Dyah Wijayaduhita, Bhre Tanjungpura Manggalawardhani Dyah Suragharini, Bhre Pajang(III) Dyah Sureswari, dan putra bungsu Bhre Keling(I). Bhre Jagaraga dinikahi Ratnapangkaja, sedangkan Bhre Tanjungpura dan Bhre Pajang(III) menjadi istri Bhre Paguhan(III). Bhre Keling(I) beristri Bhre Kembangjenar Rajanandaneswari Dyah Sudharmini, putri Bhre Pandansalas(II) Raden Jagulu. Menurut Pararaton, semua pernikahan di atas tidak membuahkan keturunan.

Bhre Tumapel(III) Wijayaparakramawardhana Dyah Kertawijaya dengan istrinya Bhre Daha(V) Jayawardhani Dyah Jayeswari mempunyai tiga putra, yaitu Bhre Pamotan(I) Rajasawardhana Dyah Wijayakumara, Bhre Wengker(III) Girisawardhana Dyah Suryawikrama, dan Bhre Pandansalas(III) Singawikramawardhana Dyah Suraprabhawa. Setelah Bhre Paguhan(III) wafat tahun 1440, Rajasawardhana menikahi Bhre Tanjungpura Manggalawardhani. Girisawardhana beristri Bhre Kabalan(III) Mahamahisi Dyah Sawitri, putri Bhre Wengker(II) dengan Bhre Matahun(II). Suraprabhawa menikahi Bhre Singapura Rajasawardhanidewi Dyah Sripura, putri Bhre Paguhan(III) dari selir.

Bhre Kahuripan(V) dan Bhre Keling(I) wafat tahun 1446. Rajasawardhana menjadi Bhre Keling(II). Setelah ratu Suhita mangkat tahun 1447, Kertawijaya mewarisi tahta Majapahit, dan gelar Bhre Tumapel(IV) disandang Suraprabhawa. Rajasawardhana yang kini putra mahkota kembali bertukar gelar menjadi Bhre Kahuripan(VI) dan kelak dikenal dengan julukan Sang Sinagara. Daftar keluarga Majapahit pada masa Kertawijaya tercantum lengkap dalam prasasti Waringin Pitu tahun 1447.

Pararaton menyebutkan bahwa putra-putra Sang Sinagara ada empat orang. Dalam prasasti Waringin Pitu tercantum nama-nama putra pertama dan kedua, yaitu Bhre Matahun(III) Wijayaparakrama Dyah Samarawijaya serta Bhre Keling(III) Girindrawardhana Dyah Wijayakarana. Putra ketiga dan keempat belum lahir pada tahun 1447. Menurut prasasti Waringin Pitu, Samarawijaya dan Wijayakarana sejak kecil dijodohkan masing-masing dengan Bhre Wirabhumi(III) Rajasawardhanendudewi Dyah Pureswari dan Bhre Kalinggapura Kamalawarnadewi Dyah Sudayita, yaitu putri-putri Bhre Wengker(III) Girisawardhana dengan Bhre Kabalan(III) Sawitri.

Bhre Kabalan(III) Sawitri dan Bhre Pajang(III) Sureswari wafat tahun 1450. Setahun kemudian mangkat pula raja Kertawijaya, dan Rajasawardhana naik tahta Majapahit tahun 1451. Gelar Bhre Kahuripan(VII) diwarisi putra mahkota Samarawijaya, sedangkan adiknya, Wijayakarana, menjadi Bhre Mataram(V). Kiranya saat itu putra ketiga dan keempat Rajasawardhana sudah lahir, yang masing-masing menyandang Bhre Pamotan(II) dan Bhre Kertabhumi. Nama-nama dua orang yang terakhir ini tercantum dalam prasasti Trailokyapuri, yaitu Singawardhana Dyah Wijayakusuma dan Girindrawardhana Dyah Ranawijaya.


PERIODE AKHIR MAJAPAHIT (1453–1478)

Ketika Rajasawardhana Sang Sinagara mangkat tahun 1453, terjadilah pertikaian tahta antara Bhre Kahuripan(VII) Samarawijaya dan Bhre Wengker(III) Girisawardhana. Kemelut paman dan keponakan ini menyebabkan Majapahit tiga tahun tidak mempunyai raja (telung tahun tan hana prabhu, kata Pararaton). Kevakuman tahta ini berakhir tahun 1456 tatkala Girisawardhana menjadi raja dengan gelar Hyang Purwawisesa. Kiranya Samarawijaya yang masih muda mengalah terhadap paman yang sekaligus mertuanya, dan rela menjadi putra mahkota untuk kedua kalinya. Peranan ibu suri Bhre Daha(V) Jayeswari tentu sangat besar dalam proses rekonsiliasi tersebut.

Bhre Daha(V) Jayeswari wafat tahun 1464, dan gelar Bhre Daha(VI) disandang Manggalawardhani. Ketika Bhre Jagaraga Wijayaduhita dan raja Girisawardhana wafat pula tahun 1466, sengketa kekuasaan muncul kembali.

Adik bungsu Sang Sinagara, Bhre Tumapel(IV) Suraprabhawa, ternyata berambisi juga menjadi raja. Dia menduduki tahta Majapahit. Sudah tentu para keponakannya sakit hati. Baru saja dua tahun Suraprabhawa bertahta (prabhu rong tahun), yaitu tahun 1468, keempat putra Sang Sinagara memperlihatkan sikap oposisi dengan ‘pergi dari istana’ (tumuli sah saking kadaton putranira sang sinagara), yaitu Bhre Kahuripan(VII) Samarawijaya, Bhre Mataram(V) Wijayakarana, Bhre Pamotan(II) Wijayakusuma, dan si bungsu Bhre Kertabhumi Ranawijaya. Mereka menyingkir ke Jinggan (antara Mojokerto dan Surabaya sekarang), menyusun kekuatan untuk merebut hak mereka atas tahta. Sejak itu Samarawijaya disebut Sang Munggwing Jinggan (Yang Berdiam di Jinggan).

Pada tahun 1478 Sang Munggwing Jinggan Samarawijaya dan adik-adiknya memimpin pasukan dalam penyerbuan ke ibukota Majapahit, yang menyebabkan runtuhnya kerajaan Hindu terbesar di Jawa itu. Pararaton menutup uraian sejarah Majapahit dengan kalimat kapernah paman, bhre prabhu sang mokta ring kadaton i saka 1400 (“paman mereka, sang raja, mangkat di istana tahun 1478”).

Ungkapan mokta ring kadaton (‘mangkat di istana’) mengisyaratkan bahwa Suraprabhawa mati terbunuh. Jika kematiannya wajar, tentu dipakai kalimat yang berbau surga, misalnya mokta ring wisnubhawana, mokta ring somyalaya, dan semacamnya. Raja Jayanagara yang terbunuh tahun 1328 diungkapkan Pararaton dengan istilah mokta ring pagulingan (‘mangkat di tempat tidur’). Kiranya Suraprabhawa bernasib serupa. Raja terakhir Majapahit ini gugur di istana ketika bertempur melawan para keponakannya.

Kemenangan putra-putra Sang Sinagara ternyata harus ditebus dengan ikut gugurnya Sang Munggwing Jinggan Samarawijaya. Prasasti Petak menyebutkan kadigwijayanira sang munggwing jinggan duk ayun-ayunan yudha lawaning majapahit (“kemenangan Sang Munggwing Jinggan yang naik-jatuh berperang melawan Majapahit”). Ungkapan ayun-ayunan (‘naik-jatuh’) berarti meraih kemenangan tetapi gugur dalam pertempuran (won the war but lost the battle).


KERAJAAN KELING DAN DAHA (1478–1527)

Sesudah Majapahit runtuh tahun 1478, tiga orang adik Sang Munggwing Jinggan, yaitu Wijayakarana, Wijayakusuma, dan Ranawijaya, mendirikan kerajaan baru di Keling (antara Mojokerto dan Kediri sekarang). Mereka bertiga secara berturut-turut menjadi raja dengan gelar Sri Maharaja Bhatara Keling. Mula-mula Girindrawardhana Dyah Wijayakarana bertahta (1478–1486), dan setelah wafat berjuluk Sang Mokta ring Amertawisesalaya. Dia digantikan oleh Singawardhana Dyah Wijayakusuma yang memerintah mungkin hanya beberapa bulan, lalu mendadak wafat dan berjuluk Sang Mokta ring Mahalayabhawana. Akhirnya Girindrawardhana Dyah Ranawijaya menjadi raja (1486–1527), yang dikenal sebagai Bhatara Wijaya atau Brawijaya.

Ranawijaya mengeluarkan prasasti Petak dan Trailokyapuri tahun 1486. Prasasti Petak menceritakan kemenangan Sang Munggwing Jinggan melawan Majapahit. Prasasti Trailokyapuri menguraikan upacara sradha mengenang 12 tahun wafatnya Bhatara Daha Sang Mokta ring Indranibhawana, ibunda Ranawijaya (janda Sang Sinagara), yaitu Bhre Daha(VI) Manggalawardhani Dyah Suragharini yang wafat tahun 1474.

Pada tahun 1513, pengembara Portugis bernama Tome Pires mengunjungi Jawa Timur. Dia berdiam di Malaka dari 1512 sampai 1515 dan menuliskan kisah perjalanannya dalam buku Suma Oriental (Catatan Dunia Timur). Tome Pires mengatakan bahwa raja Jawa saat itu adalah Batara Vigiaya, dan raja sebelumnya adalah Batara Mataram, yang menggantikan ayahnya, Batara Sinagara. Informasi ini diperoleh Tome Pires dari Pate Vira (Adipati Wira), penguasa Tuban yang beragama Islam tetapi sangat setia kepada Batara Vigiaya.

Uraian Tome Pires bahwa Batara Mataram menjadi raja menggantikan Batara Sinagara jelas tidak benar. Sang Sinagara wafat tahun 1453, sedangkan Bhre Mataram Wijayakarana naik tahta tahun 1478 setelah dia dan saudara-saudaranya meruntuhkan Majapahit. Tetapi uraian Tome Pires mudah kita pahami, sebab dia memperoleh informasi dari pihak Ranawijaya. Putra-putra Sang Sinagara tentu beranggapan bahwa paman-paman mereka, Girisawardhana dan Suraprabhawa, ‘kurang sah’ menjadi raja.

Tome Pires mengatakan Batara Vigiaya bertahta di Daha. Ini berarti antara tahun 1486 dan 1513 (sekitar tahun 1500) Ranawijaya memindahkan pusat kerajaan dari Keling ke Daha. Menurut Tome Pires, Batara Vigiaya hanyalah raja boneka, sebab kekuasaan negara dipegang mertuanya, Guste Pate Amdura. Persahabatan Guste Pate dengan Portugis membuat marah Pate Rodin Senior, raja Demak yang merupakan musuh Portugis. Pate Rodin Senior mempunyai putra Rodin Junior dan mempunyai menantu Pate Unus yang pernah menyerang benteng Portugis di Malaka. Yang disebut Pate Rodin Senior, Pate Unus, dan Rodin Junior oleh Tome Pires tiada lain adalah sultan-sultan Demak: Raden Patah (1481–1518), Pangeran Sabrang Lor Adipati Yunus (1518–1521), dan Raden Trenggana (1521–1546). Kesultanan Demak menaklukkan Daha tahun 1527 pada masa pemerintahan Trenggana, sehingga berakhirlah zaman kerajaan Hindu di Jawa Timur.


ISLAM DAN MAJAPAHIT

Masyarakat Islam sudah eksis di Jawa Timur sejak abad ke-11, dua abad sebelum berdirinya Majapahit. Di Leran, dekat Gresik, ditemukan nisan bertuliskan huruf Arab yang menerangkan wafatnya Fatimah binti Maimun tanggal 7 Rajab 475 Hijri (2 Desember 1082). Beberapa istilah bahasa Arab sudah dipakai dalam Kakawin Ghatotkacasraya gubahan Mpu Panuluh, pujangga kerajaan Panjalu abad ke-12. Pemakaman kuno di Tralaya, lokasi bekas keraton Majapahit, dipenuhi batu nisan yang bertuliskan huruf Arab, dan ada yang dilengkapi kutipan ayat-ayat suci Al-Qur’an. Tiga buah makam berasal dari zaman raja Hayam Wuruk, masing-masing bertarikh 1290, 1298 dan 1302 Saka (1368, 1376 dan 1380 Masehi). Hal ini merupakan bukti nyata bahwa agama Islam sudah dianut oleh sebagian penduduk ibukota Majapahit pada masa kerajaan Hindu itu mencapai kejayaannya.

Sebuah makam bertarikh 1370 Saka (1448) dikenal masyarakat sebagai makam Putri Cempa yang beragama Islam. Mungkin ini ucapan lidah Jawa untuk “Putri Jeumpa” yang menyatakan asal putri itu dari Aceh Serambi Mekkah. Menurut Babad Tanah Jawi, Putri Cempa adalah permaisuri Brawijaya. Istilah ‘Brawijaya’ (singkatan dari Bhatara Wijaya) harus kita cermati, sebab ada tujuh orang keluarga Majapahit yang namanya memakai kata wijaya, yaitu Sanggramawijaya (raja pertama), Kertawijaya (raja ke-7), Wijayakumara (Sang Sinagara, raja ke-8), serta putra-putra Sang Sinagara: Samarawijaya, Wijayakarana, Wijayakusuma, dan Ranawijaya. Jika cerita tentang Putri Cempa ini benar, barangkali dia adalah selir Kertawijaya (1447–1451), sebab sang permaisuri adalah Bhre Daha(V) Jayeswari.

Babad Tanah Jawi yang ditulis pada masa kesultanan Mataram menerangkan tujuh raja Majapahit yang bergelar Brawijaya, dan tahta Brawijaya terakhir diruntuhkan putranya sendiri, Raden Patah, adipati Demak yang beragama Islam. Mitos yang sangat populer di kalangan masyarakat Jawa itu jelas menyesatkan, sebab Majapahit runtuh tahun 1478 lantaran pertikaian sesama keluarga kerajaan itu sendiri. Justru kevakuman kekuasaan akibat runtuhnya Majapahit dimanfaatkan oleh Demak untuk tampil sebagai kesultanan Islam pertama di Jawa.

Kerajaan Hindu yang ditaklukkan oleh Demak bukanlah Majapahit, melainkan Kerajaan Daha, yaitu tahta Girindrawardhana Dyah Ranawijaya (Brawijaya terakhir) yang tidak pernah menjadi raja Majapahit. Justru Majapahit runtuh oleh serangan Ranawijaya dan kakak-kakaknya. Dengan demikian, Babad Tanah Jawi ternyata mencampuradukkan dua fakta sejarah yang berlainan: (1) runtuhnya Majapahit tahun 1478 akibat serangan putra-putra Sang Sinagara, serta (2) runtuhnya tahta Brawijaya di Daha tahun 1527 akibat penaklukan oleh Demak.***


LAMPIRAN:
BHATARA-BHATARA DI DAERAH MANDALA

BHRE KAHURIPAN
Tribhuwana 1309-1328, 1350-1375 Par.27:18,19; 29:32; Nag.2:2
Hayam Wuruk 1334-1350 Prasasti Tribhuwana
Wikramawardhana 1375-1389 Suma Oriental(?)
Surawardhani 1389-1400 Par.29:23,26; 30:37
Ratnapangkaja 1400-1446 Par.30:5,6; 31:35
Rajasawardhana 1447-1451 Par.32:11; Prasasti War.Pitu
Samarawijaya 1451-1478 Par.32:23

BHRE DAHA
Jayanagara 1295-1309 Nag.47:2; Prasasti Sukamerta
Rajadewi 1309-1375 Par.27:15; 29:31; Nag.4:1
Indudewi 1375-1415 Par.29:19; 31:10,21
Suhita 1415-1429 ?
Jayeswari 1429-1464 Par.30:8; 31:34; 32:18; War.Pitu
Manggalawardhani 1464-1474 Prasasti Trailokyapuri

BHRE TUMAPEL
Kertawardhana 1328-1386 Par.27:17; 29:34; 30:1; Nag.3:1
Abangnya Suhita 1389-1427 Par.30:3,7,11,12; 31:6,24
Kertawijaya 1429-1447 Par.30:4,8; 32:1
Suraprabhawa 1447-1466 Par.32:21; War.Pitu; Trawulan III

BHRE WENGKER
Wijayarajasa 1328-1388 Par.27:15; 30:19; Nag.4:2
Ayahnya Sawitri 1389-1427 Par.30:12,17; 31:25
Girisawardhana 1429-1456 Par.32:15; War.Pitu

BHRE LASEM
Indudewi 1350-1375 Par.27:23; Nag.5:1
Nagarawardhani 1375-1400 Par.29:22; 30:37
Kusumawardhani 1389-1400 Par.29:18,21; 30:36
Istri Bhre Tumapel(II) 1400-1430 Par.30:7; 31:31
Istri Bhre Tumapel(II) 1406-1430 Par.30:11; 31:31

BHRE PAJANG
Dyah Nartaja 1350-1388 Par.27:24; 29:20; 30:22; Nag.5:2
Suhita 1389-1415 ?
Sureswari 1429-1450 Par.30:15; 32:6; War.Pitu

BHRE PAGUHAN
Raden Sumana 1350-1388 Par.27:25; 30:23; Nag.6:2
Ratnapangkaja 1389-1400 ?
Ayahnya Sripura 1400-1440 Par.30:13-17; 32:4

BHRE KABALAN
Kusumawardhani 1358-1389 Nag.7:4
Jayeswari 1415-1429 ?
Sawitri 1429-1450 Par.30:17; 32:5;War.Pitu; Trawulan III

BHRE MATARAM
Wikramawardhana 1353-1375 Nag.6:3
Rajasakusuma 1375-1399 ?
Putri Wirabhumi(II) 1406-1415 Par.30:10; 31:21
Kertawijaya 1415-1429 Suma Oriental(?)
Wijayakarana 1451-1478 Par.32:23

BHRE MATAHUN
Raden Larang 1350-1388 Par.27:24; 30:21; Nag.6:1
Ibunya Sawitri 1406-1415 Par.30:11,13; 31:21
Samarawijaya 1447-1451 War.Pitu; Trawulan III

BHRE WIRABHUMI
Nagarawardhani 1354-1375 Nag.6:3
Raja kadaton wetan 1375-1406 Par.29:19,23; 30:9; 31:3,11
Pureswari 1447- ……. War.Pitu

BHRE PANDANSALAS
Ranamanggala 1375-1400 Par.29:26; 30:5; 31:1
Raden Jagulu 1400-1430 Par.31:31
Suraprabhawa 1430-1447 Par.30:18; 32:21

BHRE KELING
Putra BhreTumapel(II) 1429-1446 Par.30:16; 31:36
Rajasawardhana 1446-1447 Par.32:11
Wijayakarana 1447-1451 War.Pitu

BHRE PAMOTAN
Rajasawardhana 1429-1446 Par.32:11
Wijayakusuma 1451-1478 Par.32:23

BHRE PAWANAWAN
Surawardhani 1355-1389 Nag.6:4

BHRE PAKEMBANGAN
Putra Bhre Wirabhumi(II) ? Par.30:9

BHRE JAGARAGA
Wijayaduhita 1429-1466 Par.30:13; 32:20; War.Pitu

BHRE TANJUNGPURA
Manggalawardhani 1429-1464 Par.30:14; War.Pitu

BHRE KEMBANGJENAR
Sudharmini 1429- ……. Par.30:16; War.Pitu

BHRE SINGAPURA
Sripura 1429- ……. Par.30:18; War.Pitu; Trawulan III

BHRE KALINGGAPURA
Sudayita 1447- ……. War.Pitu

BHRE KERTABHUMI
Ranawijaya 1451-1478 Par.32:24


PUSTAKA
(disusun menurut tahun terbit) :

Jan Laurens Andries Brandes, “Pararaton (Ken Arok) of het Boek der Koningen van Tumapel en van Majapahit”, bewerkt door Nicolaas Johannes Krom, Verhandelingen 62, Bataviaasch Genootschap, Batavia, 1920.

Paul Ravaisse, “L’inscription coufique de Leran a Java”, Tijdschrift 65, Bataviaasch Genootschap, Batavia, 1925.

Martha Adriana Muusses, “Singhawikramawarddhana”, Feestbundel, Volume 2, Bataviaasch Genootschap (150 jarig bestaan 1778–1928), Batavia, 1929.

Nicolaas Johannes Krom, Hindoe-Javaansche Geschiedenis, tweede herziene druk, Martinus Nijhoff, ‘s-Gravenhage, 1931.

Armando Cortesao, The Suma Oriental of Tome Pires: An Account of the East, Volume 1-2, translated from Portuguese, The Hakluyt Society, London, 1944.

Louis-Charles Damais, “Etudes d’Epigraphie Indonesienne: III. Liste de principales inscriptions datees de l’Indonesie”, Bulletin de l’Ecole Francaise d’Extreme-Orient, tome 46, Paris, 1952.

Louis-Charles Damais, “Etudes Javanaises: I. Les tombes musulmanes datees de Tralaya”, Bulletin de l’Ecole Francaise d’Extreme-Orient, tome 48, Paris, 1957.

Bertram Johannes Otto Schrieke, Indonesian Sociological Studies, Part Two: Ruler and Realm in Early Java, W. van Hoeve, The Hague & Bandung, 1957.

Willem Pieter Groeneveldt, Historical Notes on Indonesia and Malaya Compiled from Chinese Sources, reprint, Bhratara, Djakarta, 1960.

Theodoor Gautier Thomas Pigeaud, Java in the Fourteenth Century: A Study in Culture History: The Nagarakertagama by Rakawi Prapanca of Majapahit, 1365 A.D., Volume 4, Martinus Nijhoff, The Hague, 1962.

Muhammad Yamin, Tatanegara Madjapahit, Parwa 1-2, Jajasan Prapantja, Djakarta, 1962.

George Coedes, The Indianized States of Southeast Asia, University of Malaya Press, Kuala Lumpur, 1968.

Andries Teeuw et al, Siwaratrikalpa of Mpu Tanakung, Bibliotheca Indonesica 3, Martinus Nijhoff, The Hague, 1969.

Merle Calvin Ricklefs, “A Consideration of Three Versions of the Babad Tanah Djawi, with Excerpts on the Fall of Madjapahit”, Bulletin of the School of Oriental and African Studies, Vol.35(2), London, 1972.

Boechari, “Epigraphic Evidence on Kingship in Ancient Java”, Majalah Ilmu-Ilmu Sastra Indonesia, Jilid V(1), Bhratara, Jakarta, 1973.

Jacobus Noorduyn, “The Eastern Kings in Majapahit”, Bijdragen 131, Koninklijk Instituut, Leiden, 1975.

Jacobus Noorduyn, “Majapahit in the Fifteenth Century”, Bijdragen 134, Koninklijk Instituut, Leiden, 1978.

Hasan Djafar, Girindrawarddhana: Beberapa Masalah Majapahit Akhir, Yayasan Nalanda, Jakarta, 1978.

Slametmulyana, Pemugaran Persada Sejarah Leluhur Majapahit, Yayasan Idayu, Jakarta, 1983.

Nia Kurnia Sholihat, “Rekonstruksi Sejarah Majapahit”, Harian Umum Sinar Harapan, 13 Februari 1985.

Friday, July 4, 2008

Isra' Mi`raj Nabi Muhammad s.a.w.

POROS MAKKAH - JERUSALEM
Memahami Makna Isra’ Nabi Muhammad S.A.W.

o l e h
IRFAN ANSHORY


Maha Suci Dia yang memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Tempat Sujud Yang Suci (Masjid al-Haram) ke Tempat Sujud Yang Lebih Jauh (Masjid al-Aqsha) yang Kami berkati sekelilingnya, agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian ayat-ayat Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.
Al-Isra’(17):1

DENGAN TIDAK TERASA perjalanan sang kala membawa kita kembali memasuki bulan Rajab. Sudah menjadi tradisi di kalangan umat Islam setiap tanggal 27 Rajab memperingati peristiwa Isra’ (perjalanan Nabi Muhammad s.a.w. dari Makkah ke Jerusalem) dan Mi`raj (perjalanan beliau ke Sidrat al-Muntaha untuk menerima kewajiban shalat lima waktu dari Allah SWT). Firman Allah dalam Surat Al-Isra’(17):1 di atas biasanya dikutip dan dibahas oleh para muballigh dalam ceramah-ceramah rajaban. Dalam artikel ini kita akan membicarakan beberapa aspek religius-historis dari peristiwa agung yang dialami Nabi Muhammad s.a.w. itu.

Istilah masjid dalam ayat-ayat Al-Qur’an yang diwahyukan ketika Rasulullah s.a.w. berada di Makkah (ayat-ayat Makkiyah), seperti dalam Surat Al-Isra’(17):1, janganlah diartikan sebagai bangunan mesjid yang kita kenal sekarang, sebab Nabi kita bersama para sahabat baru mendirikan bangunan mesjid setelah hijrah ke Madinah. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa mesjid pertama dalam sejarah Islam adalah Masjid Quba’, yang didirikan Nabi Muhammad s.a.w. ketika beliau akan memasuki kota Madinah. Jadi, istilah masjid sebelum peristiwa hijrah harus kita artikan secara harfiah, yaitu “tempat sujud”. Yang dimaksudkan dengan Masjid al-Haram (“Tempat Sujud Yang Suci”) pada Surat Al-Isra’(17):1 adalah Baitullah (Rumah Allah) berbentuk kubus (Ka`bah) di Makkah beserta lapangan tempat bertawaf di sekeliling Ka`bah tersebut. Sebagaimana diterangkan oleh Allah SWT dalam Surat Al-Baqarah(2):127 dan Surat Al-Hajj(22):26, Baitullah di Makkah itu didirikan oleh Nabi Ibrahim a.s. dan putra beliau Nabi Isma`il a.s.

Adapun yang dimaksudkan dengan Masjid al-Aqsha (“Tempat Sujud Yang Lebih Jauh”) pada Surat Al-Isra’ adalah Rumah Allah di Jerusalem yang disebut Bait al-Maqdis dalam bahasa Arab atau Beth ha-Maqdesh dalam bahasa Ibrani, yang berarti “Rumah Yang Disucikan”. Bait al-Maqdis didirikan Nabi Sulaiman a.s. (bertahta sekitar tahun 970–930 SM) dan merupakan pelaksanaan cita-cita ayah beliau, Nabi Daud a.s. (bertahta sekitar tahun 1000–970 SM), sebagaimana diterangkan dalam kitab Dibre Hayyamim (Tawarikh) 22:6-10. Rumah Allah (Beth Elohim) ini dirobohkan Nebukadnezzar pada tahun 586 SM, ketika raja Babilonia itu menaklukkan Jerusalem. Yang tersisa hanyalah tiang-tiang serta dinding sebelah barat yang kini disebut Dinding Ratapan. Tatkala Nabi Muhammad s.a.w. mengalami peristiwa Isra’ pada malam Senin 27 Februari 621 (27 Rajab delapan belas bulan sebelum Hijrah), Bait al-Maqdis tinggal pelatarannya saja.

Pada tahun 638 (17 Hijri), masa pemerintahan Khalifah Umar ibn Khattab (634–644), umat Islam membebaskan Jerusalem dari kekuasaan Romawi. Lalu pada masa pemerintahan Khalifah Abdul-Malik ibn Marwan (685–705) dari Dinasti Bani Umayyah, di atas puing-puing bangunan Nabi Sulaiman a.s. didirikan monumen indah yang dinamai Qubbat as-Sakhra (Dome of the Rock), dan di sebelah selatannya didirikan mesjid megah yang tentu saja dinamai Masjid al-Aqsha. Kompleks ini merupakan tanah suci (Al-Haram asy-Syarif) ketiga bagi umat Islam sesudah Makkah dan Madinah.

Peristiwa Isra’ merupakan penegasan dari Allah SWT bahwa syari`at-syari`at Nabi Muhammad s.a.w., seperti sembahyang (shalat) dan haji (hajj), merupakan kelanjutan dari syari`at para Nabi dari Bani Isra’il. Nabi Daud a.s. melakukan shalat tiga waktu sehari, yaitu petang, pagi dan tengah hari (Tehillim/Zabur 55:17-18), dengan tatacara lengkap seperti ruku` dan sujud (Tehillim 95:6). Nabi Sulaiman a.s. menegaskan bahwa di mana pun umatnya berada hendaklah shalat dengan menghadap kiblat Bait al-Maqdis (Dibre Hayyamim 35:34-40). Ketika Bani Isra’il mengalami pembuangan di Babilonia (586–539 SM), mereka tetap shalat dengan menghadap ke arah Jerusalem.

Syari`at Islam yang dibawa Nabi Muhammad s.a.w. melestarikan ajaran para Nabi Allah yang terdahulu. Dalam Al-Qur’an disebutkan tiga waktu shalat (Al-Isra’ (17):78), tetapi pelaksanaannya dijabarkan Nabi Muhammad s.a.w. menjadi lima waktu. Jika melakukan perjalanan jauh (musafir), Nabi Muhammad s.a.w. menganjurkan umatnya shalat tiga waktu sehari, dengan menggabungkan (jama`) zuhur-asar serta magrib-isya. Sampai tahun 623 (2 Hijri), Nabi Muhammad s.a.w. serta para sahabat shalat dengan menghadap Bait al-Maqdis di Yerusalem. Baru setelah turun perintah Allah pada Surat Al-Baqarah(2):144-150, umat Islam shalat menghadap Baitullah yang lebih tua dan paling terdahulu (awwalu bait), yaitu Masjid al-Haram atau Ka`bah di Makkah yang didirikan Nabi Ibrahim a.s.

Ibadah mengunjungi Baitullah disebut hajj dalam bahasa Arab serta hagg dalam bahasa Ibrani (huruf Arab ha dan jim identik dengan huruf Ibrani heth dan gimel), yang secara harfiah berarti “berkunjung ke rumah Tuhan”. Istilah hagg dipergunakan dalam kitab We’elleh Shemoth/Exodus 23:14, Shofetim/Hakim-Hakim 21:19, dan Melakim/Raja-Raja 8:65. Ada Nabi dari Bani Isra’il yang dinamai Haggai, sebab dilahirkan ketika ibunya menunaikan haji (hagg) ke Bait al-Maqdis di Jerusalem.

Tetapi ibadah haji yang sejati adalah mengunjungi Baitullah di Makkah, sesuai dengan perintah Allah kepada Nabi Ibrahim a.s., sebagaimana tercantum dalam Surat Al-Hajj(22):27, yaitu wa adzdzin fi n-nasi bi l-hajj (“Serulah manusia untuk berhaji”). Kata “labbaik” (identik dengan “here I am” bahasa Inggris atau “kulan” bahasa Sunda) yang diucapkan jemaah haji untuk menjawab panggilan Allah adalah ucapan Nabi Ibrahim a.s. (Bereshith/Genesis 22:1) serta Nabi Musa a.s. (We’elleh Shemoth 3:4). Meskipun di tanah Kana’an (Palestina sekarang) Nabi Ibrahim a.s. sempat membuat “tempat berdiri menghadap Allah” (magom dalam bahasa Ibrani) seperti tercantum dalam Bereshith 19:27, kenyataannya yang diabadikan Allah adalah tempat berdiri Nabi Ibrahim a.s. (maqam dalam bahasa Arab) di depan Ka`bah di Makkah seperti tercantum dalam Surat Ali Imran(3):97.

Dahulu Bani Isra’il pun ikut serta dengan saudara-saudara mereka Bani Isma`il, menunaikan ibadah haji ke Makkah, sebagai sesama keturunan Nabi Ibrahim a.s. Dalam Tehillim/Zabur 84:6-7 tersurat kerinduan kepada Baitullah: “Sungguh diberkati mereka yang kekuatannya di dalam Engkau, yang berteguh hati menunaikan haji. Dan ketika tiba di Lembah Baka, mereka membuatnya menjadi tempat yang bermata air.” Sampai sekarang para ulama Yahudi masih memperdebatkan di manakah lokasi Lembah Baka. Padahal, menurut Surat Ali Imran(3):96, Bakkah adalah nama purba dari Makkah! Dalam bahasa Arab dan Ibrani, kata baka mempunyai dua arti: “lembah air mata” atau “pohon balsam”. Kedua arti ini semuanya sangat cocok untuk Makkah. Suasana ibadah haji yang penuh haru dan syahdu menyebabkan air mata sering tidak terbendung, dan di Makkah memang banyak tumbuh pohon balsam (genus Commiphora), penghasil gom yang dalam berbagai farmakope internasional disebut Meccan balsam.

Demikianlah peristiwa Isra’ dari Makkah ke Jerusalem yang dialami Nabi Muhammad s.a.w. merupakan salah satu ayat Allah yang menegaskan kesinambungan ajaran Nabi Terakhir dengan ajaran para Nabi sebelumnya yang sebagian besar merupakan keluarga Bani Isra`il, antara lain Nabi Musa a.s., Nabi Daud a.s., dan Nabi Isa al-Masih a.s.


Wallahu a`lam bi sh-shawab, wa ilahi l-marji`u wa l-ma`ab.

Wednesday, July 2, 2008

What Is ISLAM?

WHAT IS ISLAM?


Islam means “surrender to the will of God.” One of the three major monotheistic faiths, Islam was founded in Arabia by Prophet Muhammad in the seventh century. Now it is the principal religion of the Middle East, Asia, and the northern half of Africa. There are an estimated 1.5 billion Muslims worldwide.

Muhammad was born in 571 at Mecca and belonged to the Quraysh tribe, which was active in the caravan trade. He joined the trade from Mecca to Syria in the employment of a rich widow, Khadija, whom he later married. Critical of the lax moral standards and polytheistic practices of the inhabitants of Mecca, he began to lead a contemplative life. In a dramatic religious vision in 610, Muslims believe, the angel Gabriel announced to Muhammad that he was to be a prophet. He devoted himself to the reform of religion and society. Polytheism was to be abandoned. But leaders of the Quraysh generally rejected his teaching, and Muhammad gained only a small following and suffered persecution. He eventually fled Mecca. The Hegira (Hijra, meaning “emigration”) of Muhammad from Mecca to Medina, where he was well received, occurred in 622 and marks the beginning of the Muslim era. After a number of military conflicts with Mecca, in 630 he marched on Mecca and conquered it in a bloodless victory. Muhammad died at Medina in 632.

Muslims revered Muhammad as the prophet of God (Allah) and consider him to be the last in the line of prophets that included Abraham, Moses, and Jesus. Sources of the Islamic faith are the Qur'an (Koran), regarded as the eternal Word of God, and tradition (hadith) regarding sayings and deeds of the prophet.

The Five Pillars, or primary duties, of Islam are profession of faith; prayer, to be performed five times a day; almsgiving to the poor; fasting during daylight hours in the month of Ramadan; and pilgrimage to Mecca (the hajj) at least once in a Muslim's lifetime, if it is physically and financially possible. The pilgrimage includes homage to the ancient shrine of the Ka'aba, the most sacred site in Islam.

Islam succeeded in uniting an Arab world of separate tribes, but disagreements concerning the succession of the prophet caused a division in Islam between two groups, Sunnis and Shi'ites. The Shi'ites rejected the first three successors to Muhammad (Abu Bakr, Omar, and Uthman) as usurpers, claiming the fourth, Muhammad's son-in-law Ali, as the rightful leader. The Sunnis (from the word "tradition"), the largest division of Islam (today more than 80%), believe in the legitimacy of the first three successors.

Another development within Islam, beginning in the eighth and ninth centuries, was Sufism, a form of mysticism. This movement was influential for many centuries and was instrumental in the spread of Islam in Asia and Africa.

When Muhammad died, the authority of his little state did not extend over more than one-third of the Arabian peninsula. A hundred years later half of the civilized world was under Muslim domination. The Islamic empire extended from the borders of India to the Strait of Gibraltar and the Pyrenees Mountains.

Contrary to common belief, it was not the result primarily of religious ardor. The Muslims were not engaged in a great crusade to impose their beliefs upon the rest of the world. Naturally there were outbreaks of fanaticism from time to time, but as a general rule the Muslims did not really care whether the nations they conquered accepted their religion or not. Subject peoples were usually quite leniently treated. They were permitted to retain their own beliefs and customs.

Jews and Christians lived unmolested in the Muslim empires for centuries, and some of them rose to positions of prominence in political and intellectual circles. In many ways the Islamic civilization was one of the most important in the Western world—mainly because its impact upon Christian Europe was responsible for social and intellectual changes.


Believers Worldwide

There are about 1.5 billion Muslims worldwide, fewer than one fifth of whom are Arab. Islam is the principal religion of much of Asia, including Indonesia (which has the world's largest Muslim population), Malaysia, Pakistan, Bangladesh, Afghanistan, Azerbaijan, Turkmenistan, Uzbekistan, Tajikistan, Kyrgyzstan, Kazakhstan, Iran, Iraq, Syria, Jordan, the Arabian Peninsula states, and Turkey. India also has one of the world's largest Muslim populations, although Islam is not the principal religion there.

In Africa, Islam is the principal religion in Egypt, Algeria, Tunisia, Djibouti, Gambia, Guinea, Libya, Mali, Mauritania, Morocco, Niger, Senegal, Somalia, and Sudan, with sizable populations also in Chad, Eritrea, Ethiopia, Ghana, Tanzania (where the island of Zanzibar is predominantly Muslim), and Nigeria.

In Europe, Albania is predominantly Muslim. Bulgaria, Bosnia, Macedonia, and Georgia have Muslim populations. Elsewhere in Europe, significant immigrant communities of Muslims from North Africa, Turkey, and Asia exist in France, Germany, Great Britain, and other nations.

In the Americas the Islamic population has substantially increased in recent years, both from conversions and the immigration of adherents from other parts of the world. In the United States, the number of Muslims has been variably estimated at 6 million; 20% of the population of Suriname is Muslim.***



ISLAM IN AMERICA:
MUSLIMS MOVE TO THE MAINSTREAM

by David Johnson

During December 2000 a crescent symbolizing Islam stood along with the Christmas tree and the Hanukkah candelabra on the Ellipse in Washington, DC. In 2001 the postal service issued a stamp for the Muslim feast of Eid-al-Fitr at the request of thousands of Muslim school children. According to the Washington Times, the stamp is one indication that the more than six million American Muslims have arrived as a political and social force.

Mosques Dot the Country

Once confined to the nation's biggest cities, mosques are rapidly becoming a familiar site on main streets across the country. There are some 3,000 mosques in the U.S. Fueled by immigration and conversions, Islam is the fastest growing religion in America. (It is also the fastest growing faith in the world.) It is on the verge of surpassing Jews as the largest non-Christian faith in the country.

Many People Confuse Terms

Many people mistakenly assume 'Muslim' and 'Arab' are interchangeable. In fact, there are two million Christian Arabs—mainly Lebanese and Palestinian—living in the U.S.

The majority of Muslims in the world are not Arab. In fact, Indonesia is the largest Islamic country in the world. Millions of Muslims live in such non-Arab areas as India, Pakistan, Iran, Turkey, Central Asia, and sub-Saharan Africa.

Diverse Origins

The American Muslim Council (AMC) in Washington, DC states that American Muslims have the following origins: Middle Eastern Arabs, 26.2%; South Asian (countries from Iran to Bangladesh), 24.7%; American blacks, 23.8%; White American converts and Europeans, 11.6%; non-Arabs from the Middle East (mostly Turkish), 10.3%; East Asia (Malay, Chinese, etc.), 6.4%.

More Muslims Favored Bush

According to Neveen Salem, director of communications and media at the AMC, 70% of all U.S. Muslims voted for George W. Bush in Election 2004. The remainder of the vote was split between Al Gore and Ralph Nader, who is of Lebanese Christian heritage. However, 46% of American Muslims are registered Democrats, 15.8% are Republicans, and 26.4% are independents.***

Information Please® Database, © 2008 Pearson Education, Inc. All rights reserved.



Data pelengkap bagi artikel-artikel di atas:

Dr.John L.Esposito, editor buku The Oxford History of Islam (Oxford University Press, London, 1999), dalam Bab “Introduction”, mengatakan: Although Islam is the youngest of the major world religion, Islam is the second largest and fastest-growing religion in the world. To speak of the world of Islam today is to refer not only to countries that stretch from North Africa to Southeast Asia but also to Muslim communities that exist across the globe (“Meskipun Islam termuda di antara agama besar dunia, Islam merupakan agama terbesar kedua dan paling cepat pertumbuhannya di dunia. Pembicaraan tentang Dunia Islam hari ini merujuk bukan hanya kepada negeri-negeri yang membentang dari Afrika Utara ke Asia Tenggara tetapi juga kepada komunitas-komunitas Muslim yang ada di seluruh penjuru bumi”).

Majalah National Geographic bulan Januari 2002, dalam artikel “The World of Islam”, mengemukakan: Some 1.3 billion human beings, a fifth of mankind, embracing Islam that make it the fastest growing on Earth, with 80 percent of believers now outside the Arab world (“Sebanyak 1,3 miliar jiwa, seperlima umat manusia, memeluk Islam yang menjadikannya agama yang paling cepat pertumbuhannya di Bumi, dengan 80 persen orang-orang beriman sekarang berada di luar dunia Arab”).

Dalam majalah The Economist, edisi 13 September 2003, terdapat hasil survei “Islam and the West” yang menyatakan bahwa umat Islam di muka bumi berjumlah 1,5 miliar jiwa. Around one in four of the people in the world are Muslims. It is indeed the world’s fastest-growing religion (“Sekitar satu dari empat penduduk bumi adalah Muslim. Islam betul-betul agama yang paling cepat pertumbuhannya di dunia”), demikian komentar The Economist.

Majalah Time edisi 23 Mei 1988, dengan artikel berjudul “American Facing Toward Mecca”, mencatat jumlah 4.644.000 umat Islam pada saat itu serta lebih dari 600 buah Islamic Center di seluruh Amerika Serikat. Lalu majalah terkemuka itu memperkirakan: US Muslim are expected to surpass Jews in number and, in less than 30 years, become the country’s second largest religious community after Christians (“Muslim Amerika Serikat diperkirakan akan melampaui umat Yahudi dalam jumlah dan, dalam waktu kurang dari 30 tahun, menjadi komunitas agama terbesar kedua di negeri ini sesudah umat Nasrani”).

Perkiraan majalah Time di atas kini makin mendekati kenyataan. Hal ini diakui oleh majalah Nasrani terbesar di Amerika Serikat, Christianity Today, edisi bulan Maret 2005: Words unfamiliar to most Americans are now heard daily on the evening news: jihad, Islam, Allah, Quran, fatwa, imam, ummah, Ramadan. Today, there are approximately seven million Muslims and more than 13000 mosques in North America. Now the Muslims are our neighbors (“Kata-kata yang asing bagi kebanyakan orang Amerika kini terdengar sehari-hari pada berita petang: jihad, Islam, Allah, Qur’an, fatwa, imam, ummah, Ramadhan. Hari ini, terdapat sekitar tujuh juta Muslim dan lebih dari 13000 masjid di Amerika Utara. Sekarang orang-orang Muslim merupakan para tetangga kita”).***