Friday, October 30, 2009

Makkah, Baitullah, dan Haji

Artikel pada Harian "Pikiran Rakyat"
Jum`at 30 Oktober 2009 :


MAKKAH, BAITULLAH, DAN HAJI

oleh
IRFAN ANSHORY




RUMAH ALLAH (Baitullah) di Makkah sebagai pusat pengabdian manusia kepada Allah SWT telah direncanakan oleh Allah sendiri puluhan abad sebelum Nabi Muhammad s.a.w. dilahirkan. Sekitar 4000 tahun yang silam, Allah memerintahkan Nabi Ibrahim a.s. untuk membawa istrinya, Hajar, dan putra mereka, Isma`il, meninggalkan Kana’an (Palestina sekarang) ke arah selatan, menuju sebuah lembah yang bernama Baka atau Bakkah. Oleh karena mim dan ba sama-sama huruf bibir (bilabial), nama Bakkah lama-kelamaan berubah menjadi Makkah. Dalam bahasa anak-anak Ibrahim (Arab dan Ibrani), kata baka mempunyai dua arti: ‘lembah air mata’ dan ‘pohon balsam’. Arti yang pertama berhubungan dengan gersangnya daerah itu sehingga seolah-olah tidak memberikan harapan, dan arti yang kedua berhubungan dengan banyaknya pohon balsam (genus Commiphora) yang tumbuh di sana.

Apakah keistimewaan lembah Bakkah? Ternyata lembah itu merupakan lokasi Rumah Allah yang didirikan generasi pertama umat manusia dari zaman Nabi Adam a.s., sebagaimana dijelaskan Allah SWT dalam Surat Ali Imran 96: “Sesungguhnya Rumah Allah Pertama yang didirikan untuk manusia benar-benar terletak di Bakkah yang diberkati dan petunjuk bagi seluruh alam”. Pada masa Nabi Ibrahim a.s. lembah itu sudah ditelantarkan, tiada manusia yang menghuni, dan Rumah Allah yang pertama itu hanya tinggal fondasinya saja.

Kisah Hajar dan Isma`il dikumpulkan dan ditulis oleh sejarawan Muhammad ibn Jarir ath-Thabari (wafat 310 H / 922 M) dalam bukunya yang termasyhur, Tarikh ar-Rusul wa l-Muluk: “Ketika mendapat perintah dari Allah menuju Rumah-Nya, Ibrahim pergi bersama Hajar dan Isma`il disertai malaikat Jibril. Mereka sampai di Makkah yang cuma ditumbuhi pohon akasia, balsam dan semak berduri. Baitullah saat itu tinggal dasarnya berupa lempung merah. Jibril berkata, ‘Allah memerintahkan engkau untuk meninggalkan mereka.’ Ibrahim membawa Hajar dan Isma`il ke Hijir (di samping Ka`bah sekarang) dan membuat tenda di sana. Lalu Ibrahim berdoa: ‘Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku menempatkan keturunanku di lembah yang tiada tumbuhan berbuah, di samping Rumah-Mu yang suci, agar mereka tetap menegakkan shalat. Maka jadikanlah hati manusia berpaling kepada mereka, dan berilah mereka rezeki dari buah-buahan, agar mereka bersyukur’ (Surat Ibrahim 37). Ketika Ibrahim akan pergi, Hajar bertanya, ‘Apakah perintah Allah yang membuatmu meninggalkan kami?’ Ibrahim menjawab, ‘Ya.’ Maka Hajar berkata, ‘Jika demikian tentu Allah tidak meninggalkan kami untuk binasa.’ Lalu Ibrahim kembali ke Kana’an, meninggalkan mereka berdua di Rumah Allah.”

Masih kutipan dari Thabari: “Isma`il menangis karena sangat kehausan. Hajar memasang telinga untuk mendengar suara yang mungkin membantunya memperoleh air. Dia mendengar suara di bukit Safa, lalu pergi ke sana tetapi tidak menemukan air. Lalu dia mendengar suara di bukit Marwah. Dia pergi ke sana, juga tidak menemukan apapun. Hajar kembali ke Safa, lalu balik lagi ke Marwah, dengan tidak merasa letih supaya anaknya dapat minum. Ketika Hajar sampai di Marwah setelah tujuh kali bolak-balik, tiba-tiba dia mendengar suara gemuruh dari lembah tempat dia meninggalkan Isma`il. Dia berlari menuju anaknya, dan mendapati mata air memancar dekat tempat dia berbaring. Hajar mengisikan air ke kirbat kulitnya sambil berseru, ‘Zummi, zummi’. Ada yang mengatakan bahwa itu bahasa Mesir purba yang artinya ‘Berkumpul, berkumpul.’ Mungkin juga itu hanya ucapan Hajar menirukan bunyi air yang memancar. Hanya Allah yang Maha Tahu, tetapi dari ucapan Hajar itulah asal nama telaga Zamzam.”

Adanya sumber air berupa telaga Zamzam membuat tempat itu layak dihuni. Maka datanglah rombongan suku Jurhum memohon izin kepada Hajar dan Isma`il untuk menetap di sana. Lambat laun lembah Makkah itu tumbuh menjadi suatu pemukiman. Pada waktu-waktu tertentu, secara rutin Ibrahim dari Kana’an datang ke Makkah mengunjungi istri dan anak beliau.

Ketika Isma`il berusia 13 tahun datanglah ujian dahsyat yang tiada tara. Allah memerintahkan Ibrahim agar berqurban menyembelih putranya yang satu-satunya itu! Sungguh suatu ujian yang sangat berat, namun karena itu perintah Allah maka Ibrahim menyanggupinya. Ketika perintah Allah itu disampaikan Ibrahim kepada sang anak, Isma`il yang masih remaja itu menjawab: “Wahai ayahanda, laksanakanlah apa yang diperintahkan Allah. Insya Allah ayah akan mendapatiku sebagai anak yang sabar”, sebagaimana tercantum dalam Surat Ash-Shaffat 102.

Ibrahim membawa Isma`il ke suatu bukit di sebelah timur Makkah, tempat yang sekarang bernama Mina. Tiga kali Iblis menggoda Ibrahim untuk membatalkan rencananya, tiga kali pula Ibrahim menolak godaan Iblis dengan lontaran kerikil. Tindakan Ibrahim ini kelak diabadikan dalam salah satu manasik (tatacara) haji, yaitu melontar tiga jumrah di Mina. Setelah Isma`il direbahkan pada batu landasan penyembelihan, dan pedang Ibrahim telah siap hendak menyentuh leher putranya, maka Allah berfirman agar Ibrahim mengganti sembelihannya dengan seekor domba. Firman Allah dalam Ash-Shaffat 106-107: “Sesungguhnya ini benar-benar hanya ujian yang nyata, dan Kami tebus anak itu dengan seekor domba yang besar”.

Ibrahim tidak kehilangan putra, bahkan putranya bertambah satu lagi, sebab setelah peristiwa ujian qurban itu Allah memberikan kabar gembira bahwa istri pertamanya, Sarah, akan memberinya putra yang bernama Ishaq, sebagaimana diterangkan dalam Ash-Shaffat 112: “Kami gembirakan dia dengan Ishaq, seorang nabi yang saleh”.

Kemudian turunlah perintah Allah kepada Ibrahim dan Isma`il untuk merenovasi Baitullah, dengan meninggikan fondasi yang memang sudah ada. Surat Al-Baqarah 127 memberikan informasi: “Ibrahim meningkatkan fondasi Al-Bait bersama Isma`il”. Oleh karena bangunan Rumah Allah yang didirikan Ibrahim dan Isma`il itu berbentuk ‘kubus’ (ka`bah dalam bahasa Arab), Rumah Allah yang berukuran 12 x 10,5 x 15 meter itu dikenal dengan sebutan Ka`bah.

Di depan Ka`bah, Nabi Ibrahim a.s. membuat maqam (‘tempat berdiri’) untuk shalat menghadap Allah. Allah SWT mengabadikan tempat berdiri Nabi Ibrahim a.s. di depan Ka`bah itu sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari Baitullah. “Ambillah Maqam Ibrahim menjadi tempat shalat”, demikian tercantum dalam Surat Al-Baqarah 125. Sebagai catatan, istilah maqam (makam) dalam bahasa Indonesia digunakan untuk menyebut ‘kuburan’ (karena pengaruh ajaran tasawuf bahwa orang yang wafat telah mencapai maqam tertinggi), sehingga ada jemaah haji yang menyangka Maqam Ibrahim sebagai ‘kuburan Nabi Ibrahim’, padahal kuburan beliau terletak di Al-Khalil (Hebron), daerah Tepi Barat, Palestina.

Setelah Ka`bah rampung dibangun, barulah turun perintah Allah kepada Nabi Ibrahim a.s. agar menyeru manusia untuk menunaikan ibadah haji. Istilah hajj berarti ‘berkunjung ke Rumah Allah’. Surat Al-Hajj 27 merekam firman Allah kepada Nabi Ibrahim a.s.: “Panggillah manusia untuk berhaji. Mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki dan segala jenis kendaraan, datang dari segenap penjuru yang jauh”.

“Tunjukkanlah kepada kami tatacara haji bagi kami”, demikian permohonan Nabi Ibrahim a.s. kepada Allah SWT yang tercantum dalam Surat Al-Baqarah 128. Maka Allah mengajarkan tatacara (manasik) ibadah haji kepada Nabi Ibrahim a.s. Manasik haji yang pertama adalah ihram (‘mengharamkan’ atau ‘mensucikan’), yaitu mengenakan pakaian ihram serta tidak melakukan larangan-larangan ihram. Begitu jemaah haji menginjakkan kaki di Tanah Haram (Tanah Suci), mereka harus sudah meninggalkan dan menanggalkan pakaian mereka sehari-hari dan menggantinya dengan kain ihram. Ini suatu perlambang bahwa di Rumah Allah manusia harus bersedia membebaskan diri dari segala atribut kekayaan, jabatan dan status sosial yang disandangkan orang kepadanya dalam kehidupan sehari-hari. Di hadapan Sang Khaliq semua manusia tanpa kecuali, baik penguasa maupun rakyat jelata, berstatus sama yaitu Hamba Allah.

Kemudian para jemaah haji harus melakukan wuquf (‘berdiam, jambore’) di Padang Arafah, sekitar 25 km di sebelah timur Makkah. Inilah upacara geladi resik berkumpulnya umat manusia di Padang Mahsyar pada Hari Akhirat nanti, sekaligus para jemaah haji melakukan ‘reuni’ di tempat pertemuan Adam dan Hawa setelah kedua nenek moyang umat manusia ini terusir dari Taman Eden (Jannatu `Adn). Itulah sebabnya tempat wuquf itu dinamai Padang Arafah, artinya ‘Padang Pengenalan’, agar manusia mengenali kembali persaudaraan sebagai sesama anak cucu Adam dan Hawa.

Perintah wuquf di Arafah tercantum dalam Al-Baqarah 199: Afiidhuu min haitsu afaadha n-naas (“Membanjirlah kamu dari tempat membanjirnya manusia”). Arafah dijuluki Allah sebagai ‘tempat membanjirnya manusia’, tempat Adam dan Hawa pertama kali menurunkan generasi pertama umat manusia (Homo sapiens) yang kemudian—seperti air keluar dari sumbernya—membanjir berkembang biak menjadi lebih dari 6 miliar jiwa pada awal abad ke-21 sekarang. Jadi, kepergian jemaah haji ke Arafah pada hakikatnya adalah ‘mudik ke kampung asal nenek moyang’!

Dengan melakukan wuquf, jemaah haji diharapkan menyadari bahwa umat manusia yang bermacam-macam warna kulit, bahasa dan adat-istiadat ternyata adalah saudara sedarah dan seketurunan. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Al-Hujurat 13: “Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu sekalian dari seorang laki-laki (Adam) dan seorang perempuan (Hawa), kemudian Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal (li ta`aarafuu, satu akar kata dengan`arafah). Sesungguhnya yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling taqwa di antara kamu sekalian. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengawasi.”

Dengan penegasan Allah SWT ini maka segala bentuk diskriminasi tidak mendapat tempat dalam masyarakat Islam. Agama Islam menentang habis-habisan faham rasialisme dan chauvinisme. Para penganut faham rasialisme memiliki rasa keunggulan ras dengan merendahkan ras-ras lainnya. Inilah yang dipraktekkan oleh bangsa Yahudi dan kaum Nazi, atau yang pernah diperbuat oleh orang Amerika terhadap Indian dan Negro, atau seperti pernah dilakukan orang kulit putih di Afrika Selatan dengan politik apartheidnya terhadap kulit berwarna. Yang identik dengan faham rasialisme adalah faham chauvinisme, yaitu faham kebangsaan yang sempit dan fanatik sehingga menganggap bangsanya lebih tinggi dari bangsa-bangsa lain. Faham inilah yang melahirkan imperialisme dan kolonialisme, penjajahan bangsa atas bangsa, serta menyeret manusia ke dalam dua kali Perang Dunia.

Adapun ajaran Islam sejak semula meniadakan dinding rasial dan jenis manusia, lalu mengembalikan manusia itu kepada asal yang satu. Semua manusia berhak untuk berhimpun di bawah perlindungan ajaran Islam tanpa memandang warna kulit dan asal-usul keturunan, bahkan juga tanpa memandang agama dan keyakinan! Islam tidak mengenal batas teritorial, sebab bumi seluruhnya kepunyaan Allah dan segala isinya disediakan Allah untuk manusia. Namun hal ini tidaklah berarti Islam menghapuskan idea kebangsaan (nasionalisme). Menurut Surat Al-Hujurat ayat 13 tadi, adanya manusia berbangsa-bangsa dan bersuku-suku adalah kehendak Allah. Dalam ajaran Islam, faham nasionalisme dipelihara dengan makna yang baik, yaitu bersatu untuk mencapai tujuan bersama dari seluruh anggota bangsa itu, serta menjalin hubungan baik dan saling membantu dengan bangsa-bangsa lain.

Selanjutnya para jemaah haji harus melakukan thawaf, yaitu mengelilingi Ka`bah sebanyak tujuh putaran. Inilah tarian kosmos, sebab seluruh isi alam semesta selalu dalam keadaan berthawaf. Jemaah haji meniru gerakan elektron-elektron yang berthawaf mengelilingi inti atom serta gerakan planet-planet yang berthawaf mengelilingi matahari. Alam semesta hanya eksis karena gerakan thawaf! Seluruh materi di jagat raya, dari partikel-partikel penyusun atom sampai benda-benda langit, senantiasa tunduk-patuh kepada hukum-hukum Ilahi yang mengatur mereka. Dengan melakukan thawaf, diharapkan manusia sebagai bagian alam semesta menyadari bahwa mereka pun seharusnya tunduk-patuh kepada aturan-aturan Allah sebagaimana tunduk-patuhnya seluruh isi langit dan bumi. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Ali Imran 83: “Apalagi yang mereka cari selain agama Allah, padahal kepada-Nya telah Islam (tunduk-patuh) segala yang di langit dan di bumi secara sukarela atau terpaksa, dan kepada-Nya mereka akan dikembalikan.”

Sesudah melakukan thawaf, jemaah haji harus melakukan sa`i, meniru gerakan Hajar bolak-balik tujuh kali untuk mencari air antara bukit Safa dan bukit Marwah. Kata sa`i berarti ‘usaha’. Ternyata Hajar baru memperoleh anugerah air Zamzam dari Allah setelah dia melakukan sa`i (usaha) yang maksimal. Dengan melakukan sa`i, diharapkan manusia menyadari bahwa kesuksesan dan kejayaan hanya dapat diraih melalui usaha atau perjuangan maksimal, bukan dengan sekadar berdoa sambil berpangku tangan tanpa aktivitas. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam An-Najm 39-40: “Bahwa manusia tidak memperoleh apa-apa kecuali apa yang diusahakannya (maa sa`aa), dan bahwa usahanya (sa`yahuu) akan segera terlihat nyata.”

Mengapa thawaf dan sa`i harus tujuh kali? Perlu diketahui, Nabi Ibrahim a.s. berasal dari Mesopotamia, yang masyarakatnya memakai sistem bilangan dasar enam. Dari merekalah kita mewarisi pembagian lingkaran menjadi 360 derajat, satu hari menjadi 24 jam, satu derajat dan satu jam menjadi 60 menit, dan satu menit menjadi 60 detik. Sistem ini menjadikan ‘tujuh’ sebagai bilangan yang istimewa. Itulah sebabnya satu pekan harus tujuh hari, dan sesuatu yang maksimal harus dinyatakan dalam jumlah tujuh. Oleh karena Allah berkomunikasi melalui wahyu-Nya dalam bahasa Nabi yang bersangkutan, maka manasik haji yang disyari`atkan kepada Nabi Ibrahim a.s. banyak melibatkan bilangan tujuh—sebagai perlambang hal yang maksimal—seperti tujuh putaran thawaf, tujuh bolak-balik sa`i, dan tujuh lontaran terhadap jumrah.

Wallahu a`lam bi sh-shawab.***


PENULIS Direktur Pendidikan “Ganesha Operation”.

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home