Friday, July 30, 2010

Hisab dan Ru'yah

MEMAHAMI METODE HISAB DAN RU’YAH


oleh
IRFAN ANSHORY




ADA DUA MACAM METODE yang dipakai umat Islam dalam penetapan awal Ramadhan (memulai ibadah puasa) dan awal Syawwal (merayakan Idulfitri).
Pertama, metode hisab, yaitu menghitung munculnya hilal secara ilmiah (perhitungan astronomis), dan menetapkan tanggal satu ketika hilal sudah “di atas ufuk” meskipun belum dapat terlihat oleh mata.
Kedua, metode ru’yah, yaitu melihat langsung hilal dengan mata, dan menetapkan tanggal satu ketika hilal sudah “dapat terlihat oleh mata”. Jika hilal belum terlihat, meskipun sudah di atas ufuk, bulan yang sedang berjalan digenapkan 30 hari.

Meskipun berbeda metode, umat Islam pada umumnya memulai ibadah puasa dan merayakan Idulfitri pada hari yang sama, sebab biasanya hilal sudah di atas ufuk dan juga sudah terlihat oleh mata. Akan tetapi, ada masa-masa tertentu di mana hilal menurut perhitungan ilmiah sudah di atas ufuk, tetapi posisinya masih rendah sehingga belum dapat terlihat oleh mata. Jika terjadi keadaan seperti ini, maka para pengguna metoda hisab akan memulai ibadah puasa atau merayakan Idulfitri sehari lebih dahulu dari saudara-saudaranya para pengguna metode ru’yah.

Pada zaman modern sekarang di mana pengetahuan astronomi sudah sangat maju sehingga peredaran bumi, bulan dan matahari dapat dihitung secara ilmiah dan sampai hitungan detik tidak mungkin salah, sudah sewajarnya kita menggunakan metode hisab!

Memang benar bahwa Nabi Muhammad s.a.w. pernah bersabda: Shuumuu li ru’yatihi wa afthiruu li ru’yatih. Fa in ghubiya `alaikum, fa akmiluu `iddata sya`baana tsalaatsiin (“Berpuasalah kamu karena melihat bulan dan berbukalah kamu karena melihatnya. Jika tertutup bagi kamu, sempurnakanlah bilangan Sya`ban 30 hari”). Tetapi `illat (alasan) beliau menyuruh demikian adalah karena ru’yah itulah sarana yang mudah dan praktis pada saat itu. Ilmu astronomi pada zaman Rasulullah s.a.w. belum secanggih sekarang.

Jika kita sekarang menentukan awal Ramadhan dan awal Syawwal dengan metode hisab, bukan berarti kita tidak mengikuti Hadits Nabi. Kita tetap melaksanakan ru’yah, cuma bukan ru’yah dengan mata melainkan ru’yah dengan ilmu! Kata kerja ra’aa, yaraa dalam bahasa Arab bukan hanya berarti ‘melihat’, tetapi juga dapat berarti ‘memperhatikan, menyelidiki, meneliti’. Selain menurunkan kata ru’yah, kata kerja ra’aa juga menurunkan kata ra’yu yang berarti ‘pemikiran, opini’.

Metode hisab merupakan aplikasi Firman Allah dalam Al-Qur’an:

Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya, dan Dia menetapkan tahap peredaran bagi bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan hisab (perhitungan). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan kebenaran. Dia menjelaskan ayat-ayat-Nya kepada kaum yang berpengetahuan” (Yunus 5).

Tidaklah mungkin matahari mendapatkan bulan dan malam pun tidak dapat mendahului siang. Dan masing-masing beredar pada garis edarnya” (Yasin 40).

Matahari dan bulan beredar menurut perhitungan” (Ar-Rahman 5).

Kenyataannya, metode ru’yah hanya dipakai untuk menentukan awal Ramadhan dan awal Syawwal saja. Dalam penentuan awal bulan-bulan yang lain (Muharram, Shafar, dst.), tidak pernah ada yang mengintip hilal. Jika konsekuen memakai metode ru’yah, mustahil kita membuat kalender, sebab setiap menjelang awal bulan harus melihat hilal terlebih dahulu.

Kalender Hijriyah yang kita pakai setiap tahun dibuat dengan metode hisab! Menteri Agama tidak pernah mengundang para ulama mengadakan sidang itsbat (konfirmasi) untuk membahas kapan waktunya Tahun Baru Hijriyah, sebab tanggal 1 Muharram (juga 1 Shafar, 1 Rabi`ul-Awwal, dst.) dapat dihitung secara ilmiah jauh-jauh hari sebelumnya tanpa harus melihat hilal. Demikian pula waktu sholat kita setiap hari (awal zhuhur, asar, magrib, isya, shubuh) ditentukan dengan metode hisab dan dibuat untuk jadwal sholat satu tahun tanpa harus melihat matahari.

Menurut metode hisab, konjungsi (ijtima`) terjadi Selasa 10 Agustus 2010 pukul 10.09 WIB. Saat matahari terbenam hilal sudah lebih dari dua derajat di atas ufuk, sehingga dapat terlihat jelas oleh mata. Jadi baik menurut metode hisab maupun metode ru’yah, 1 Ramadhan jatuh pada Rabu 11 Agustus 2010. Jadi malam Rabu sudah mulai shalat tarawih sebab sudah masuk bulan Ramadhan.

Konjungsi berikutnya terjadi Rabu 8 September 2010 pukul 17.31 WIB. Saat matahari terbenam hilal belum wujud (masih di bawah ufuk), sehingga Kamis 9 September merupakan hari terakhir bulan Ramadhan. Posisi hilal pada Kamis petang sudah cukup tinggi, sehingga terlihat mata. Jadi 1 Syawwal (Idulfitri) jatuh pada Jumat 10 September 2010 baik menurut metode hisab maupun metode ru’yah.***





BULAN, APA BETUL KAU SULIT DILIHAT?


oleh
TAUFIQ ISMAIL

(dibacakan di Masjid Salman ITB pada Ramadhan 1429)



Kelihatan tak kelihatan
Bulan terus meluncur di garis pelayangan
Berabad-abad dalam peredaran
Sangat patuhnya tak ada penyimpangan

Berlayar di angkasa berdua dengan matahari
Jadwal tanpa selisih sepersepuluh detik pun selama ini
Yang satu menyiramkan cahaya, yang lain membuat indah bumi
Bergilir siang dan malam tanpa saling mendahului

Berlayar di angkasa berziliun dengan bintang galaksi raya
Lihat mereka tawaf sangat teratur di alam semesta
Beredar amat cantiknya dengan logika matematika
Dalam disiplin dingin dan jelasnya ritma


Seorang anak tiga belas tahun di bulan Sya`ban
Menjelang suatu magrib berseru kepada bulan
“Rembulan, adakah lagi teka-teki yang akan kau suguhkan
Tentang hari apa gerangan, awal dan akhir Ramadhan?”

Anak itu memasang teleskop ketika rembulan melihat ke bumi
Di kalbunya sedang tumbuh iman, di otaknya ilmu astronomi
“Anak muda, saya tak pernah suka berteka-teki
Saya dapat perintah berlayar, arah sampai detikku sangat pasti.”

Kelihatan tak kelihatan
Bulan terus meluncur di garis pelayangan
Berpuluh abad dalam peredaran
Sangat patuhnya tak ada penyimpangan


Anak itu mengatur lensa lalu mengintip bintang-gemintang
Kemudian dengan bulan terus berdiskusi
“Rembulan, kenapa ketika harus terbit sebagai sabit
Kamu sesekali tak nampak, apakah bersembunyi?”

Bulan tertawa di atas sana, hampir saja nampak giginya
“Di langit kok sembunyi, bagaimana ini
Setiap tanggal satu saya selalu melapor tepat di tempat
Dan swear, melanggar perintah saya takut sekali.”

Kelihatan tak kelihatan
Bulan terus meluncur di garis pelayangan
Beratus abad dalam peredaran
Sangat patuhnya tak ada penyimpangan


Sang anak mengamati catatannya, angka-angka astronomi
Melalui lensa ruang angkasa malam hari dia amati
“Tapi kenapa terkadang bentuk sabitmu tak kelihatan
Wahai rembulan yang dinanti-nantikan?”

“Kecil sekali bentukku sebagai sabit, terbit di kaki langit
Sudutnya sangat rendah dan bila langit tak cerah
Misalkan ada kabut selayang dan awan secercah
Wajah sabitku saat itu jadi tertutuplah.”

Kelihatan tak kelihatan
Bulan terus meluncur di garis pelayangan
Beribu abad dalam peredaran
Sangat patuhnya tak ada penyimpangan


Sang Al-Biruni kecil tetap saja penasaran
Dia masih juga mengajukan pertanyaan
“Apakah terdapat perbedaan situasi
Cakrawala empat belas abad lalu dengan kini?”

“Tentu saja keadaannya berbeda sekali
Dahulu langit sangat jernih tak ada cemar polusi
Seimbang luar biasa secara fisika dan kimiawi
Paling-paling sesekali awan dan kabut tebal melapisi
Kini berjuta pabrik dan kendaraan memuntahkan emisi
Ratusan jenis gas limbah jadi tabir menghalangi
Terapung-apung di atas kulit bumi
Kaki langit tidak sebersih dahulu lagi
Seperti ada selaput tipis menabiri
Sehingga terhalang pandang bulan sabit pertama hari
Itulah yang kamu kira saya tak menampakkan diri.”

Kelihatan tak kelihatan
Bulan terus meluncur di garis pelayangan
Berpuluh ribu abad dalam peredaran
Sangat patuhnya tak ada penyimpangan



“Terima kasih rembulan, menarik benar diskusi ini,”
Ujar sang cendekia muda di ujung teropong bintangnya
“Banyak soal jadi jelas sekarang bagi saya, makasih ya
Sekarang apa rencanamu, wahai rembulanku?”

Rembulan yang bijak itu tersenyum kini
“Wah, kamu meledek saya, anak bumi
Tentu saja saya terus melayang tak henti-henti
Berdua dengan sejoli saya sang matahari
Berziliun dengan gemintang raya di galaksi
Di garis edar yang ditentukan Maha Pencipta Semesta ini
Di setiap titik ruang angkasa jadwal kami sudah pasti
Bermilyar kilometer berjuta tahun cahaya kami jalani
Tidak ada kosakata berhenti bagi kami
Kecuali bila datang perintah dari Yang Maha Tinggi
‘Berhenti!’
Dan kiamat pun jadi.”

“Rembulan! Tunggu!
Jadi kalau kiamat nanti
Kamu tidak ada lagi?”

“Tidak ada, anak bumi, tidak ada lagi
Masa dinas saya selesai sudah, kita tak ketemu lagi
Karena itu, puas-puaskan melihat wajah saya ini
Tulislah agak sebaris puisi
Dah-daah, anak bumi!”